Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Online Shaming, Memberi Efek Jera atau Sekadar Melampiaskan Amarah?

2 Oktober 2020   16:02 Diperbarui: 3 Oktober 2020   00:21 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menghina online-newsroom.unsw.edu.au

Silvany Austin Pasaribu, seorang diplomat muda dari Indonesia, profilnya kini menjadi viral di dunia maya setelah ia memberi peringatan keras kepada Vanuatu terkait isu-isu pelanggaran HAM di Papua. 

Dalam video yang kini beredar di YouTube, ia menegaskan agar Vanuatu berhenti ikut campur mengenai isu tersebut. 

Sebenarnya bukan kali ini saja Vanuatu "berulah" dengan menyinggung pemerintah Indonesia soal isu-isu pelanggaran HAM di Papua. Hal ini sudah pernah terjadi setidaknya sejak 2016 silam. 

Berkali-kali pula Indonesia melalui perwakilannya di Sidang Umum PBB selalu menyinggung balik Vanuatu mengenai pentingnya menghormati kedaulatan negara lain.

Publik Indonesia pun meradang. Postingan-postingan di instagram @vanuatuislands menjadi sasaran kemarahan warganet Indonesia. Kata-kata bernada seksis dan rasis membanjiri kolom komentar. Bahkan postingan berupa foto anak-anak Vanuatu dalam rangka peringatan Hari Anak pun tidak luput dari sasaran caci-maki warganet.

Internet dan Budaya Shaming

Kemajuan teknologi internet rupanya belum tentu disertai dengan kemajuan pola pikir dan sikap penggunanya. Salah satu hal yang berkaitan erat dengan internet adalah berkembangnya budaya shaming atau online shaming.

Shaming atau tindakan mempermalukan orang lain di internet dapat dilakukan dengan cara menghina, menguntit sampai menyebarkan ancaman.

Online shaming bisa timbul akibat ucapan-ucapan, tindakan atau gambar yang pernah diunggah sehingga individu yang bersangkutan akan dipermalukan oleh warganet.

Budaya shaming sebenarnya tidak selalu buruk. Ada kalanya hal ini diperlukan untuk menyadarkan masyarakat agar berani bicara dan lebih peduli akan isu-isu sosial, seperti pelecehan seksual, rasisme, intoleransi dan sebagainya. 

Misalnya, kasus pelecehan seksual yang terjadi di industri perfilman Hollywood oleh Harvey Weinstein pada 2017 lalu, telah menimbulkan kesadaran tidak hanya dari kalangan artis, namun juga masyarakat umum untuk berani bicara perihal pelecehan seksual yang pernah dialaminya. Tagar #MeToo ditengarai turut meramaikan jagat media sosial saat itu. 

Memberi Efek Jera dengan Hujatan(?)

Online shaming juga bisa dijadikan sarana kontrol diri untuk lebih berhati-hati dalam mengunggah sesuatu karena jejak digital itu kejam. Postingan alay Anda 10 tahun lalu saja bisa jadi petaka kalau sampai ada yang iseng mencari lalu memviralkannya sekarang. 

Namun, sebagai sarana kontrol pun, online shaming juga bisa menimbulkan masalah serius pada korbannya, seperti depresi dan keinginan untuk bunuh diri. 

Ingatkah Anda dengan kasus Asa Firda Nihaya atau Afi Nihaya Faradisa, seorang pelajar asal Banyuwangi yang saat itu viral karena tulisannya tentang agama dan keberagaman? 

Afi Nihaya Faradisa-jogja.tribunnews.com
Afi Nihaya Faradisa-jogja.tribunnews.com

Ketika tulisan itu pertama kali viral, banyak orang memujanya. Menganggapnya sebagai pahlawan toleransi dan keberagaman. Sampai-sampai ia pernah diundang oleh Presiden Jokowi ke istana dan di berbagai acara bincang-bincang seputar nasionalisme dan toleransi. 

Namun, semua puja-puji itu luntur setelah diketahui bahwa tulisannya yang viral itu ternyata plagiat. Tulisan tersebut aslinya adalah milik Mita Handayani yang diunggah ke laman Facebook miliknya pada 30 Juni 2016. 

Seketika itu masyarakat ramai-ramai menghujatnya, termasuk penggemarnya. Sejumlah orang bahkan mengirim pesan ancaman ke nomor pribadi Afi. 

Mereka yang mencerca Afi berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah untuk memberi pelajaran agar yang bersangkutan merasa jera. 

Afi pada akhirnya memang mengaku dan meminta maaf atas perbuatannya. Namun, alih-alih memaafkan, hujatan masih saja dilayangkan padanya sehingga ia merasa depresi dan sempat berpikir untuk bunuh diri. 

Dunia maya memang memberikan ruang interaksi yang lebih luas bahkan pada orang yang tidak dikenal. Namun, hal ini juga mengakibatkan warganet jadi berlaku lebih galak, keras, kontroversial dan tidak merasa bersalah ketika sudah melontarkan kata-kata kasar pada orang lain. Apalagi kalau mereka bersembunyi dibalik akun-akun anonim. 

Tindakan Vanuatu dalam Sidang Umum PBB yang provokatif itu memang keliru. Namun, menanggapinya dengan sikap rasis atas nama nasionalisme juga sama salahnya. 

Apalagi pakai menghina fisik karena warna kulit mereka yang gelap. Anda sadar nggak sih kalau secara tidak langsung Anda juga telah menghina orang-orang Papua dan Papua Barat? Mengingat ciri fisik mereka yang mirip. 

Begitu pula dengan kasus Afi Nihaya. Plagiarisme itu memang salah. Namun mempermalukan sampai membuatnya depresi dan berpikir untuk bunuh diri juga tidak dapat dibenarkan. 

Jika Anda ingin memberi "sanksi sosial" cukuplah sampai ia mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Atau jika kasusnya telah ditangani pihak berwajib, misalnya, itu juga sudah cukup. Anda tidak perlu lagi memperpanjang urusan sampai membuat hidup seseorang hancur berantakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun