Misalnya, kasus pelecehan seksual yang terjadi di industri perfilman Hollywood oleh Harvey Weinstein pada 2017 lalu, telah menimbulkan kesadaran tidak hanya dari kalangan artis, namun juga masyarakat umum untuk berani bicara perihal pelecehan seksual yang pernah dialaminya. Tagar #MeToo ditengarai turut meramaikan jagat media sosial saat itu.Â
Memberi Efek Jera dengan Hujatan(?)
Online shaming juga bisa dijadikan sarana kontrol diri untuk lebih berhati-hati dalam mengunggah sesuatu karena jejak digital itu kejam. Postingan alay Anda 10 tahun lalu saja bisa jadi petaka kalau sampai ada yang iseng mencari lalu memviralkannya sekarang.Â
Namun, sebagai sarana kontrol pun, online shaming juga bisa menimbulkan masalah serius pada korbannya, seperti depresi dan keinginan untuk bunuh diri.Â
Ingatkah Anda dengan kasus Asa Firda Nihaya atau Afi Nihaya Faradisa, seorang pelajar asal Banyuwangi yang saat itu viral karena tulisannya tentang agama dan keberagaman?Â
Ketika tulisan itu pertama kali viral, banyak orang memujanya. Menganggapnya sebagai pahlawan toleransi dan keberagaman. Sampai-sampai ia pernah diundang oleh Presiden Jokowi ke istana dan di berbagai acara bincang-bincang seputar nasionalisme dan toleransi.Â
Namun, semua puja-puji itu luntur setelah diketahui bahwa tulisannya yang viral itu ternyata plagiat. Tulisan tersebut aslinya adalah milik Mita Handayani yang diunggah ke laman Facebook miliknya pada 30 Juni 2016.Â
Seketika itu masyarakat ramai-ramai menghujatnya, termasuk penggemarnya. Sejumlah orang bahkan mengirim pesan ancaman ke nomor pribadi Afi.Â
Mereka yang mencerca Afi berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah untuk memberi pelajaran agar yang bersangkutan merasa jera.Â
Afi pada akhirnya memang mengaku dan meminta maaf atas perbuatannya. Namun, alih-alih memaafkan, hujatan masih saja dilayangkan padanya sehingga ia merasa depresi dan sempat berpikir untuk bunuh diri.Â