Dunia politik adalah dunia yang berisik, setidaknya begitulah yang terjadi di negeri kita. Kelakuan pejabat-pejabat publik dan kebijakan-kebijakannya cukup sering membuat darah tinggi namun juga nggateli. Hal ini memancing pihak-pihak yang kritis untuk melayangkan kritik kepada Bapak/Ibu pejabat yang terhormat. Entah itu melalui tulisan hingga meme-meme koplak yang beredar di sosial media.Â
Tidak jarang kritik sosial yang ditujukan kepada mereka menggunakan gaya bahasa sindiran. Dulu sewaktu sekolah, kita pasti pernah belajar tentang majas ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Majas adalah gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan sebuah pesan secara imajinatif dan kias kepada pembaca. Majas sering ditemukan dalam karya-karya sastra, terutama puisi, untuk menciptakan imajinasi-imajinasi tertentu sehingga suatu karya menjadi lebih hidup.Â
Salah satu jenis majas yang dapat digunakan dalam karya yang berisi kritik sosial adalah satire. Satire (dalam KBBI) adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang.Â
Satire berbeda dengan sarkasme. Walaupun keduanya sama-sama termasuk majas sindiran, satire cenderung lebih halus dan bijaksana (namun tetap menusuk) dalam menyindir dibanding sarkasme. Sedangkan sarkasme adalah sindiran yang cenderung lebih keras dan kasar. Sindiran dengan satire lebih tepat untuk memberikan kritik membangun. Sementara sarkasme lebih terlihat seperti olok-olok atau cemoohan.Â
"The rules of satire are such that it must do more than make you laugh. No matter how amusing it is, it doesn't count unless you find it yourself wincing a little even as you chuckle"
Satire memang mengandung humor. Namun dari kutipan di atas, kita tahu bahwa satire lebih dari sekadar untuk lucu-lucuan belaka. Tujuan utama satire adalah untuk mengkritik sehingga disela-sela humor yang disisipkan di dalamnya, ada sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada audiens. Oleh karena itu, membuat tulisan dengan gaya bahasa satire itu tidak mudah. Butuh pemahaman komprehensif tentang sesuatu yang hendak dikritik.Â
Selain itu, penulis satire harus pandai menyusun kalimat yang membuat tujuan utamanya tersembunyi namun tetap tajam dan menohok. Jadi, penulis satire bisa terlihat seperti tidak mengkritik. Bahkan lebih terlihat seperti sedang memuji atau membela seseorang atau sesuatu yang menjadi sasaran kritik si penulis. Bingung ya? Sama kok, saya juga bingung gimana jelasinnya. Mungkin artikel ini bisa memberi sedikit gambaran tentang penjelasan saya yang membingungkan itu.Â
Selain susah dibuat, tulisan satire juga tidak semudah itu dipahami sehingga pembaca harus lebih kritis dalam menangkap makna tersirat yang hendak disampaikan oleh penulis. Jadi, membaca sebuah satire itu tidak bisa langsung ditelan mentah-mentah karena bisa menimbulkan gagal paham.
Saya beberapa kali membaca tulisan satire seperti contoh artikel yang saya sebutkan sebelumnya. Dan secara garis besar, para pembaca satire ini bisa terbagi menjadi dua golongan berdasarkan responnya dalam menanggapi tulisan dengan gaya bahasa tersebut.Â
Pertama, golongan yang paham apa itu satire sekaligus mampu menangkap maksud si penulis. Pembaca golongan pertama ini adalah orang-orang kritis. Rata-rata mereka adalah orang-orang cerdas dengan selera humor yang tinggi. Bisa jadi mereka juga orang-orang yang gemar membaca dan menulis dengan referensi bacaan yang bervariasi, sehingga mereka lebih familiar dengan berbagai gaya penulisan, termasuk satire itu sendiri.Â