Beberapa minggu ini media Tanah Air sedang ramai-ramainya memberitakan kasus pelecehan seksual. Salah satunya adalah kasus Gilang Bungkus yang melakukan pelecehan seksual dengan meminta korbannya yang rata-rata adalah mahasiswa baru dan anak-anak SMA untuk membungkus diri mereka dengan kain jarik.Â
Belum tuntas kasus Gilang Bungkus, kita dikejutkan lagi dengan berita seorang dosen suatu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta yang melakukan pelecehan seksual dengan modus riset swinger alias bertukar pasangan. Setelah perbuatannya ketahuan, ia meminta maaf dan mengakui bahwa dirinya melakukan hal tersebut demi fantasi seksual belaka. Ia bahkan juga mengakui sempat melakukan pelecehan seksual secara fisik terhadap beberapa orang di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta.Â
Ada sebuah temuan mencengangkan yang dimuat dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020, menunjukkan angka kekerasan seksual pada 2019 mencapai hampir 800% atau meningkat 8 kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun, terhitung sejak 2008. Komnas Perempuan juga mencatat ada 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2019. Jumlah ini meningkat 6% dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 406.178 kasus. Angka-angka tersebut merupakan jumlah yang terdata. Lalu, berapa banyak kasus yang tidak terdata?Â
Kasus pelecehan seksual seperti fenomena gunung es. Jumlah kasus pelecehan seksual mungkin saja bisa lebih banyak daripada yang terdata atau yang dilaporkan. Sebenarnya apa yang menyebabkan korban pelecehan seksual takut melapor atau speak up mengenai pengalamannya?Â
1. Adanya Kebiasaan Victim Blaming
Saya sedih dan miris rasanya ketika menjumpai korban pelecehan seksual yang mencoba speak up justru malah mendapat cibiran. Menurut saya ini aneh. Dia yang korban, kenapa dia yang disalahkan? Saya tidak habis pikir pada mereka yang menganggap orang yang speak up tentang pengalamannya dilecehkan secara seksual sebagai orang yang sedang cari perhatian, membuat sensasi atau panjat sosial. Ada pula yang mengatai-ngatai para korban seperti ini misalnya, "makanya jangan suka pulang malam-malam" atau "kamu sih pakai baju seksi begini, gimana nggak diperkosa?" Bukankah ini sama saja dengan membenarkan tindakan perkosaan yang dilakukan pelaku hanya karena si korban memakai baju seksi?Â
Pelecehan seksual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pakaian yang dikenakan oleh korban dan tidak pandang waktu. Survei yang dirilis oleh change.org pada akhir 2018 lalu menunjukkan bahwa sebanyak 18% korban pelecehan seksual menggunakan rok dan celana panjang. Disusul dengan pakaian berjilbab sebanyak 17%, baju lengan panjang 16%, seragam sekolah dan pakaian longgar masing-masing sebanyak 14%.Â
Sementara waktu terjadinya pelecehan seksual paling banyak justru terjadi saat siang hari dengan prosentase sebesar 35%. Kemudian disusul dengan sore hari 25%, malam 21% dan pagi 17%.Â
Dengan kita melakukan victim blaming, korban justru semakin merasa tertekan, takut dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia akan berpikir bahwa ini semua salahnya dan dirinyalah penyebab pelecehan seksual itu bisa terjadi.Â
2. MaluÂ
Survei yang dilakukan oleh Lentera Sintas dan Magdalene menunjukkan bahwa 93% dari jumlah korban memilih tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 63% beralasan karena malu sedangkan sisanya adalah karena permintaan keluarga (dengan melaporkan hal tersebut, korban dianggap akan mencemarkan nama baik keluarga).Â
3. Tidak Cukup BuktiÂ
Kasus pelecehan seksual selama ini hanya dipandang yang dilakukan secara fisik saja. Padahal bentuk-bentuk pelecehan seksual juga bisa dilakukan secara verbal (komentar atas tubuh, siulan, komentar bernada seksual dll) dan visual (gestur vulgar, mempertontonkan alat kelamin dll).
Oleh karena itu, banyak kasus pelecehan seksual yang tidak tuntas penyelesaiannya karena bukti yang dihadirkan dinilai tidak cukup untuk menjerat pelaku ke ranah hukum. Ujung-ujungnya pasti diselesaikan dengan "jalan damai" atau secara "kekeluargaan". Pelaku hanya disuruh untuk meminta maaf pada korban dan keluarganya. Sementara korban harus menanggung malu dan beban mental sepanjang hidupnya. Korban bukan hanya telah diinjak-injak kehormatannya namun juga dihancurkan masa depannya.Â
Cara seperti ini sesungguhnya sangat problematik karena terkesan melindungi pelaku sehingga pelaku merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perbuatannya. Tidak adanya sanksi tegas bagi pelaku berpotensi membuat pelaku kembali melakukan perbuatannya di kemudian hari. Lagipula siapa yang berani menjamin bahwa di kemudian hari dia tidak akan mencari "mangsa" baru?Â
Pelecehan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, agama, status sosial bahkan jenis pakaian yang dikenakan. Pelaku pelecehan seksual pun bisa siapa saja, baik orang terdekat yang sering berinteraksi dengan kita maupun orang yang sama sekali tidak kita kenal. Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi korban pelecehan seksual?
Jawabannya sederhana : berempatilah! Minimal menjadi pendengar yang baik tanpa bersikap sok tahu, mendikte apalagi menghakimi. Dengarkan mereka agar kita paham apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Berilah ruang pada mereka untuk bersuara dan mencari keadilan. Bukan malah membungkam suara korban dan memaklumi tindakan pelaku pelecehan seksual sebagai sebuah kewajaran.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H