Mohon tunggu...
Agung Lumbantoruan
Agung Lumbantoruan Mohon Tunggu... Lainnya - Pencinta Aksara

Bhavana sraddha, satya, santhosa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Genealogi Pemikiran dalam Berbeda Pendapat

27 Desember 2013   20:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi salah satu takdir ilahi bagi manusia sebagai mahluk sosial. Itu artinya manusia tidak bisa hidup sendiri-sendiri apalagi sendirian dalam membangun dunia. Akan tetapi menjadi tantangan tersendiri kala manusia dengan manusia lainnya saling berinteraksi karena sudah pasti akan terjadi perbedaan pendapat. Sekalipun untuk sebuah pemahaman yang sama. Itulah sebabnya dimana-mana akan selalu terjadi perbedaan pendapat. Dalam suatu keluarga yang dibangun atas nama cinta pasangan suami istri saja senantiasa bisa berbeda pendapat.

Kali ini bukan tanpa alasan bilamana Kompasiana menggulirkan lomba mengenai tulisan mengenai  topik "dinamika berpendapat". Sedari awal kehadiran Kompasiana memang bertujuan untuk memotivasi 'orang biasa' untuk membiasakan menulis gagasan tentang sesuatu yang dirasakan, dialami, diamati dan sejenisnya supaya bisa berbagi dengan orang-orang lainnya. Menjadi menarik manakala di lain pihak tulisan-tulisan yang dibagikan oleh seseorang mendapat 'pertentangan' dari pihak lainnya.

Sekalipun baru bergabung beberapa bulan yang lalu, saya sudah beberapa kali menemukan acara 'silang pendapat' yang 'sengit'.  Ada yang 'melawan' dalam 'diam'. Ada juga 'berkomentar' dengan 'cerdas'. Tak jarang pula beredar 'suara-suara' yang bernada 'sumbang'. Idealnya memang tulisan dilawan pula dengan tulisan.

Mengapa?

Karena dalam tulisan yang sejatinya asli buah pikiran sendiri akan terlihat bagaimana genealogi pemikiran sang penulis.  Hal ini menjadi penting karena genealogi pemikiran seseorang sudah tentu berbeda satu dengan lainnya. Genealogi berasal dari bahasa Yunani γενεά atau genea yang berarti keturunan dan λόγος atau logos yang artinya pengetahuan.  Sederhana saja terjemahan bebasnya adalah riwayat keturunan pengetahuan.  Sedangkan genealogi pemikiran yang saya maksud disini adalah bagaimana proses kehidupan seseorang amat berpengaruh dalam membentuk cara berpikir dan juga cara berpendapat baik secara lisan maupun tulisan.

Oleh sebab itu biasanya saya sebelum berkomentar atas perbedaan pendapat yang terjadi di dunia kompasiana terlebih dahulu akan melihat rekam jejak tulisan-tulisan yang bersangkutan. Ada yang mengulas dengan cara membeberkan terlebih dahulu fakta-fakta yang diketahui sebelum memberi kesimpulan. Ada juga yang sekedarnya saja mengambil data-data lalu dengan gaya bahasanya tersendiri merangkum sebuah kesimpulan. Yang paling penting adalah esensi dari isi tulisan bisa sampai ke tujuan para pembacanya. Akan tetapi disini letak persoalan yang sering terjadi ketika para kompasianer dan pembaca-pembaca 'siluman' tidak memperhatikan persoalan genealogi pemikiran seseorang dalam karya tulisnya. Alhasil yang ada bukan saling memperdebatkan isi tulisan melainkan 'mencerca' sosok sang penulis. Ada begitu banyak contoh sebenarnya di dunia kompasiana ini. Mulai dari hal-hal yang sepele sampai yang sangat serius.

Berbicara mengenai genealogi pemikiran tentang perbedaan pendapat dalam bentuk lisan maupun tulisan, saya banyak belajar dari sosok Hatta dan Soekarno.

Sebagaimana yang perlu diketahui kedua bapak bangsa ini sama-sama tidak pernah diragukan lagi rasa cintanya kepada bangsa Indonesia. Dengan caranya masing-masing sedari muda mereka berjuang demi kemerdekaan dan pembangunan bangsa ini. Sebagai aktivis perjuangan kemerdekaan, Hatta dan Soekarno yang sama-sama mengenyam pendidikan Hindia Belanda senantiasa menuliskan pergulatan pemikirannya masing-masing. Tidak jarang satu dengan yang lainnya berani saling mengkritik dan memuji gagasan-gagasan yang ada. Sampai suatu ketika Soekarno muda disinyalir 'minta ampun' kepada pemerintah Hindia Belanda maka lahirlah karya tulis Hatta yang berjudul "Tragedi Soekarno". Menarik untuk dipelajari bahwa ditengah-tengah isi tulisan Hatta tersebut yang mengkritik Soekarno, beliau malah memohon supaya para pembaca tidak mendiskreditkan sosok pribadi Soekarno itu sendiri.

Perbedaan pendapat lainnya juga terjadi menjelang kemerdekaan Indonesia. Hatta sedari awal kurang setuju dengan gagasan Soekarno untuk memerdekakan Indonesia terlebih dahulu. Ketika faktanya sebagian besar rakyat Indonesia belum berpendidikan. Soekarno pun menyanggah ide Hatta dengan menelurkan teori 'Jembatan Emas'. Dimana menurut pendapat Soekarno bila Indonesia merdeka maka dengan demikian bisa serta merta memberikan pendidikan kepada rakyatnya. Hatta mengaminkan pendapat Soekarno ini.

Sejarah membuktikan bahwasanya kedua bapak bangsa ini ternyata padu dalam bekerja sama. Sekalipun berbeda pendapat dengan gaya perjuangan diplomasi Hatta dalam berjuang memperoleh pengakuan dunia internasional, Soekarno tidak sekalipun pernah menyanggah apalagi menggagalkan usaha-usaha diplomasi yang ada. Sekali waktu Panglima Besar Soedirman marah besar terhadap Soekarno yang memilih ditahan tentara Belanda daripada ikut bergerilya sebagaimana yang pernah dijanjikannya. Adalah Hatta yang menasehati Soekarno bahwa bila ikut bergerilya maka bisa dicap sebagai penjahat perang mengingat selama revolusi berlangsung Soekarno-Hatta dicap sebagai kolaborator Jepang oleh sekutu. Dengan perang gerilya antara Tentara Nasional Indonesia melawan Tentara Belanda maka dunia akan melihat bahwasanya Indonesia sejatinya bukan buatan balatentara Dai Nippon. Sedangkan penahanan Soekarno-Hatta akan menjadi batu sandungan bagi Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia.

Sayang memang setelah diakuinya kemerdekaan Republik secara internasional, dwitunggal berubah menjadi dwitanggal.  Sekali ini perbedaan pendapat antara Soekarno dan Hatta tidak lagi beroleh titik temu. Hatta pun melukiskan perbedaan tersebut dalam tulisan "Demokrasi Kita". Sekalipun perselisihan pendapat antara Soekarno dengan Hatta sedemikian tajamnya tetapi mereka berdua tetap bersahabat hingga akhir hayat. Ketika Soekarno sudah bersatus sebagai Presiden berkuasa penuh dan Hatta telah kembali menjadi warga negara biasa, Soekarno pula yang berinisiatif mengirimkan Hatta untuk berobat ke luar negeri atas biaya negara. Sebaliknya manakala kekuasaan Presiden Soekarno telah berakhir, Hatta pula yang bersikeras supaya Soekarno diberi kesempatan memperoleh pengadilan yang fair.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun