Stella tergugah. Ia memberanikan diri mengutarakan pendapat. "Tuan Green. Apa anda tidak menyadarinya?"
    "Menyadari apa?" Lancelot menoleh.
    "Hati kecil anda," sahut Stella, "lama - lama tak bisa disembunyikan. Sesungguhnya anda lebih ingin melindungi London daripada mengejar seorang gadis. Ternyata penilaian saya tidak keliru. Anda tak seburuk yang dianggap orang." Stella berkata dengan gembira.
    Lancelot menatap Stella dengan tajam. Stella jadi gemetar. Wajah Lancelot lalu mendekat padanya. Begitu dekat. Stella dapat merasakan hembusan napas pria itu.
    "Tidak" Ucap Lancelot sambil membuang muka. "Hal itu tak boleh terjadi. Musuh tetaplah musuh. Aku tak akan melupakan pengusiran keluarga kami dari London!"
    Mulut Stella terkunci. Ia memang bukan gadis pemberani yang bisa berdebat. Meski begitu dicobanya juga untuk berkata - kata.
    "Tapi ... tapi sepertinya tidak begitu." Stella membantah. "Saya tidak tahu masalah anda dengan kota ini. Tapi anda harus berpikir jernih. Jangan terjebak rasa dendam."
    Arabel tak mendengar pembicaraan tersebut. Ia berdiri terlalu jauh. Gadis itu bahkan tak menyadari kehadiran Lancelot dan Stella.
    Arabel terus sibuk dengan pikirannya sendiri. Dikeluarkannya selembar kertas kemudian mulai menulis.
    Pundak Lancelot merebah. Emosinya memang tak stabil. Kadang naik ke ubun - ubun, tapi secepat kilat cepat padam. Stella kemudian meletakkan tasnya jauh - jauh.
    "Lihat ...," ujarnya, "mulai sekarang tak ada wawancara lagi. Saya bicara dengan anda sebagai sahabat. Tak perlu takut untuk bercerita."