Arabel meletakkan pensilnya. Ia baru saja corat - coret di atas peta.
    Sepertinya rencana yang disusunnya cukup bagus. Masuk akal dilakukan daripada menunggu penjemputan Canaris. Arabel tak yakin u-boot yang dijanjikan untuk menjemputnya akan segera tiba. Seandainya Hitler memberi izin secepat - cepatnya tanggal 16 September sekalipun, tidak gampang bagi u-boot tersebut untuk menjangkau pantai Inggris.
    Sebabnya, pangkalan u-boot terdekat jaraknya cukup jauh dari sini. Belum lagi AL Inggris mengadakan barikade laut yang ketat. Arabel tak mau menunggu.
    Bila siang ini kabur, Arabel berniat mengajak Eduard ke pelabuhan. Dari pelabuhan mereka akan menaiki kapal penumpang atau kapal dagang menuju Spanyol. Spanyol adalah negara netral sehingga bebas untuk keluar-masuk kesana.
    Arabel tahu bahwa meskipun netral, Spanyol bersimpati pada Jerman. Dengan begitu gampanglah dirinya pergi dari Spanyol ke Perancis yang telah dikuasai Nazi. Selanjutnya dari Perancis tinggal melakukan perjalanan darat menuju Jerman.
    Arabel tersenyum puas. Itulah rencana pelariannya.
    Spanyol dan Perancis. Di sana begitu indah. Oh, andai saja ini perjalanan bulan madu. Namun sebelum pikiran Arabel menjadi yang tidak - tidak, mendadak telepon berdering.
    Arabel begegas menyambar gagang telepon. Nyaris saja mulutnya mengucapkan kalimat,"guten morgen", 'selamat pagi' dalam bahasa Jerman. Untung kesalahan yang bisa berakibat fatal itu berhasil dicegah.
    "Yes?" Arabel memakai kosakata Inggris yang singkat.
    Rupanya panggilan itu berasal dari Eduard. Selanjutnya terjadilah percakapan. Mimik muka Arabel dengan cepat berubah menjadi serius. Dari kamar, Stella ikut mendengar bunyi telepon berdering. Gadis itu berusaha menegakkan kepala. Beberapa bagian tubuhnya terasa kesemutan. Ikatan di tangan dan kakinya begitu kencang.
    "Gefahrlich!" Arabel tiba - tiba berteriak dan membanting gagang telepon.