Kabupaten Grobogan, yang merupakan tempat kelahiran saya, merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang dikenal akan kekeringan di musim kemarau dan jalan yang sering rusak. Padahal dibalik label yang sudah melekat tersebut, kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah ini menyimpan potensi wisata alam yang masih belum banyak terjamah oleh khalayak ramai.
Sebagian wisata sudah banyak dikenal seperti Api Abadi Mrapen, Bledug Kuwu, dan wisata bendungan Waduk Kedungombo. Selain wisata tersebut, Grobogan juga memiliki wisata alam lainnya berupa air terjun. Air terjun yang mungkin sudah banyak didengar adalah air terjun Widuri yang terletak di Desa Kemadoh Batur, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dari arah kota Purwodadi ambil ke arah timur menuju Kabupaten Blora. Kurang lebih 10 kilometer, di sisi kiri jalan setelah kantor Kecamatan Tawangharjo kemudian belok kiri dan ikuti saja jalan yang ada. Dari jalan raya sendiri sampai lokasi air terjun berjarak kira-kira 10 kilometer. Jadi, total jarak yang ditempuh dari kota adalah 20 kilometer.
Meskipun hanya berjarak 10 kilometer dari jalan raya, namun saya rasa belum banyak wisatawan luar daerah yang berminat mengunjunginya. Hal ini disebabkan karena perjalanan yang harus ditempuh untuk bisa kesana cukup menguras tenaga dan pikiran. Semula jalan yang dilalui beraspal penuh (sebagian sudah berupa jalan cor, ciri khas jalan di Kabupaten Grobogan sekarang). Meskipun sempit tetapi cukup untuk berpapasan antar kendaraan roda 4. Akan tetapi, lama-kelamaan jalan menjadi jelek dan membuat kita harus menurunkan laju kecepatan.
Waktu itu, saya memakai motor bersama-sama dengan teman-teman sehingga mudah untuk menyelip-nyelip. Jalan yang dilalui berupa tanah dengan batu-batu kerikil yang saya rasa merupakan pondasi dari jalan sebelumnya. Terbukti dengan masih adanya bekas jalan beraspal yang tersisa sedikit di tengah jalan dan menandakan bahwa sebelumnya jalan disini sudah pernah beraspal. Mungkin karena banyaknya truk-truk bermuatan pohon yang sering lewat membuat jalanan semakin lama menjadi rusak.
Sepanjang jalan, kami melewati perkampungan. Selebihnya adalah hutan milik Perhutani dan bukit-bukit gersang yang sedang ditanami jagung. Sebenarnya, jika perjalanan ini tanpa melalui jalan yang rusak, kami bisa menikmati pemandangan yang ada di sepanjang jalan. Saat kami lewat, sedang ada penebangan pohon yang dilakukan oleh pihak Perhutani bersama penduduk setempat. Mungkin mereka sedang menebang pohon yang sudah tua dan semoga nantinya tidak lupa ditanami kembali dengan tanaman pohon yang baru.
Saya sendiri kurang begitu menikmati perjalanan karena pikiran terkonsentrasi pada jalan. Jika lengah sedikit bisa jatuh akibat banyaknya batu-batu kecil. Tidak bisa membeyangkan jika musim hujan bagaimana kondisi jalan ini. Sempat was-was juga karena ban motor teman ada yang kempes ketika melewati hutan dan tidak ada tambal ban. Jangankan tambal ban, rumah penduduk saja tidak ada. Karena perjalanan yang terasa sangat jauh dan tidak sampai-sampai, kami sempat berpikir untuk balik arah saja, menyerah di tengah-tengah pertandingan. Namun, semua itu kami urungkan dan tetap melanjutkan menapaki jalan terjal tersebut.
Setelah berkendara selama kurang lebih 2 jam, kami mulai memasuki Desa Kemadohbatur. Jika jalan mulus mungkin hanya menghabiskan waktu 1 jam saja. Petunjuk lokasi air terjun sudah ada jadi tidak perlu khawatir tersesat. Sampai disana, kami membayar tiket masuk seharga Rp 3.000,00 per orang dan parkir motor Rp 1.000,00 per motor. Suasana wisata saat kami disana sedang sepi pengunjung, mungkin karena cuaca masih panas, tetapi tetap ada warung yang buka.
Untuk mencapai air terjun, dari loket, pengunjung harus melewati hutan jati terlebih dahulu untuk sampai di lokasi karena air terjun berada di area bawah. Tidak lama, hanya butuh waktu 10 menit saja kita sudah bisa mendengar suara gemericik air terjun. Dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah air terjun tujuan kami, Widuri, yang menurut cerita legenda merupakan tempat mandi para bidadari pada zaman dahulu.
Lelah yang kami alami di perjalanan sedikit memudar setelah menjumpai air terjun tersebut. Waktu itu meskipun hujan sudah jarang turun tetapi debit air lumayan deras. Tidak begitu mengecewakan sudah jauh-jauh kesini. Catatan saya, sayangnya kebersihan di alam ini kurang begitu diperhatikan. Banyaknya daun pohon jati yang jatuh dan dibiarkan saja membuat nyamuk sesuka hati menggoda manusia. Gak asik dong, ke air terjun tapi bentol-bentol.
Pada saat jalan pulang, kami sering berpapasan dengan penduduk yang saya kira merupakan penduduk dekat air terjun. Saya membayangkan betapa repotnya mereka jika mau pergi ke kota. Hai, menyapa Ibu Bupati dulu ah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H