Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Adakah Pilihan dalam Mencintai

12 Agustus 2024   18:07 Diperbarui: 12 Agustus 2024   18:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau lihat keluarga yang berada di pojok sana?" aku menunjuk sebuah arah. "Beberapa bulan terakhir menjadi mengasuh asrama aku mengenal cukup baik anak itu. Anak yang manja, suka berbohong, seringnya menyalahkan orang lain dan biang kerok. Kau lihat juga fisiknya meski sempurna tapi memiliki warna kulit yang gelap dan memiliki tatapan mata yang tajam. sejujurnya aku tak menyukai anak itu. Meski begitu aku tetap berusaha netral, berusaha memperlakukan semua anak dengan porsi yang sama. Tapi hati manusia biasa yang kumiliki ini, tetap saja menyukai anak-anak yang baik, manut, patuh dan gak neko-neko bermain-main dengan peraturan yang kutegakkan. Apalagi jika sudahlah manut, patuh, fisiknya juga sedap di pandang. Seperti anak itu." aku menunjuk arah lain, seseorang di sebelahku mengikuti arah yang ditunjuk oleh tanganku.

Seorang anak yang kusukai karakternya tengah bercerita pada orangtuanya yang disambut antusias oleh anggukan kepala dan wajah yang ekspresif. Wajah anak itu juga menggemaskkan. Mungkin, jika ada sesuatu tentang anak itu aku akan mendahulukannya dibandingkan anak lain. Tetapi, aku tak boleh melakukan hal yang demikian, seingin apapun aku melakukannya.

"Menurutmu apa setiap orang tua hanya punya satu pilihan untuk mencintai anak-anak mereka seutuhnya. Maksudku, okelah mereka akan mencintai dan sangat amat menyayangi anak-anak seperti yang kusebutkan tadi, yang baik, yang penurut yang pintar dan dapat dibanggakan oleh orangtuanya dengan cinta sebesar itu. Tapi bagi anak-anak yang berkebalikan dengan sifat seperti itu, jahat, misalnya ia membangkang, membunuh orang dan merugikan banyak orang. Adakah setiap orang tua mereka mempunyai pilihan untuk tidak mencintai mereka dan berlepas tangan. Tidak lagi memberikan pelukan hangat untuk anak-anak mereka yang melakukan kerusakan." Aku bertutur panjang lebar, entah mengapa dengannya dan berbicara perihal apa saja membuatku semakin menikmati sisi keindahan dunia yang berbeda. Berbeda dalam segi apa, aku juga tak dapat menjelaskannya dengan baik. Yang kutahu duduk di sebelahnya dan membicarakan beberapa hal membuat hidupku berwarna layaknya lengkung pelangi.

"Kau tidak bepiki bahwa anak-anak yang demikian tidak pantas untuk dicinta dan menerima cinta kan?"

Aku reflek menoleh, buru membuka mulut ingin menyanggah,"bukan itu maksudku, jika aku dapat meminjam sebentar saja kacamata para orangtua yang mencintai anak-anaknya yang seperti itu, mungkin di asrama aku akan menjadi orang yang penuh cinta, tidak hanya berusaha untuk pura-pura suka dan memberi cinta pada orang-orang dengan kepribadian kurang baik. Kepribadian dari seseorang yang mana sangat kuhindari dekat-dekat dengannya selama ini, orang-orang manipulatif dan toxic." Terlambat, ia lebh dulu meneruskan apa yang sudah berjubel mengantri di kepalanya. Soal ini aku juga tau, ia selalu punya kata-kata terbaiknya. Mungkin itu juga bias dari kegemarannya mendengarkan banyak orang berbicara tentang apa saja. Dunianya luas, tak sepertiku yang hanya selayang pandang dunia yang kumiliki.

"Cinta itu bukan perihal baik dan buruk, Ra. Bukan juga perihal siapa yag menurut dan membangkang. Bahkan penjahat, pembunuh dan orang-orang yang kau anggap tak pantaspun mereka tetap pantas menerima cinta dari orang lain tanpa syarat. Ya, tanpa syarat dia harus baik, tanpa syarat dia harus rupawan, tidak begitu. Cinta itu tak bersyarat, ia tumbuh dengan sendirinya. Mungkin awalnya dengan sebab. Sebab bahwa dia adalah seorang anak yang lahir dari rahim atau sebab dia adalah orangtua yang mengurus kita dengan baik. Namun, selebihnya cinta berjalan dengan amat sangat misterius. Bahkan pakar cintapun tak dapat menebak  aliran dari perasaan cinta itu bermula lantas mengalir dan bemuara ke mana."

Benar, aku mengangguk setuju.

"Dan soal mereka, anak-anak asramamu itu. kenapa kau memandang mereka dengan rasa cinta yang berbeda pada satu anak dengan anak yang lainnya? Ya karena kamu memandang mereka dari kacamata seorang pengurus asrama yang menegakkan aturan, bukan seorang orang tua yang perasaannya cintanya tumbuh mengakar subur dalam hati."

"Soal pertanyaan awalmu, tidakkah ada pilihan dalam mencintai? Ya, menurutku tergantung orangnya. Setiap orang tua tentu menginginkan anak yang membuat hatinya senang, Entah karena prilaku, kepribadian ataupun prestasi. Tapi bukan berarti hal itu menjadikan mereka mengesampingkan dan tak memberikan cinta yang sama pada anak-anaknya yang lain yang tak memilii prestasi yang bagus menurut standarnya.

"Kita lanjutkan besok, Ra, selamat bertugas, semoga menjadi pengurus asrama yang baik. Dan kau jangan memikirkan banyak hal, cintaii mereka, belajarlah membuka sudut pandangmu, boleh jadi kau akan temukan sesuatu yang akan membuatmu tecengang setelahnya. Aku pergi, kepala sekolahmu menuju kemari. Kuharap ia tidak akan memarahimu karena kau hanya melamun seharian ini."

Aku meliriknya sinis, kata siapa aku melamun seharian. Sok tau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun