Â
"Kau sedang memerhatikan apa?"
Seseorang di sebelahku bertanya, sekilas aku mengurai tanganku yang menopang dagu. Sejak tadi pikiranku memang berkelana menyisakan raga yang berdiam diri di tempat.
"Kupikir mencintai itu tak punya pilihan," kataku mengembalikan tanganku menopang dagu.
"Kenapa begitu?"
"Kau lihat pemdangan yang ada di hadapan kita?"
Seseorang di sebelahku mengangguk, "ya, aku melihatnya. Wujud cinta dari orang tua untuk anaknya yang sedang menuntut ilmu, jauh dari rumah."
Aku menganguk mengiyakan, pasalnya yang terhampar di hadapan adalah para orang tua yang tengah tersenyum bangga menyongsong anak-anaknya yang belarian menuruni tangga asrama. Hari ini adalah hari penjengukan, selasar asrama ramai dengan orang-orang yang sedang melepas rindu akan orang terkasih yang beberapa waktu terpisah raga dalam jarak.
Beberapa orangtua tampak membawa banyak sekali tentengan dalam plastik putih berlogokan salah satu gerai toko yang sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Juga ada yang sesekali menyeka haru mata yang menyaksikan bagaimana anak-anak tumbuh besar dilingungan yang berbeda denganya. Ada juga yang dengan sabar dan telaten mendengar semua cerita yang keluar dari lisan-lisan sang anak, untuk kemudian memberi sugesti dan motivasi bahwa semua ini demi kebaikan untuk mereka kelak.
"Menurutmu bagaimana orang tua dapat mencintai anaknya setulus itu?"
Seseorang di sebelahku mengerutkan dahi, meski tak melihatnya aku dapat merasakan ia tengah melakukan hal itu. setelah beberapa waktu bersamanya duduk menikmati suasana yang dihamparkan semesta, aku mengenalnya lebih dari siapapun.