Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Pintu Rumah, Bangunan atau Perasaan

8 Juni 2024   22:12 Diperbarui: 8 Juni 2024   22:20 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang itu  menyukai berdiam diri di rumah, ia enggan membuka pintu, enggan melangkah keluar. Seseorang itu hanya memerhatikan riuh sekitar yang ada di luar dari kaca jendela yang bingkainya selalu tertutup rapat. Meski dengan begitu ia mendapat banyak referensi untuk memandang sesuatu yang ada di balik pintu yang tidak pernah dibukanya itu. Sesekali ia memandang keluar dengan perasaan buruk, saat ranting-ranting pohon patah ditumbangkan badai. Saat tumbuhan yang semula hijau meranggas saat musim kemarau tiba, luruh setiap helai dedaunan. Sesekali juga ia memandang keluar dengan perasaan yang sungguh baik saat musim semi menyapa, menumbuhkan tunas-tunas baru untuk kemudian bebungaan mekar, kupu-kupu beterbangan dengan sayap yang bercahaya. Dunia luar yang selintas menarik juga menakutkan dalam waktu bersamaan.

Seseorang itu tak tertarik untuk membuka pintu, bahkan mendekatinya pun enggan. Apalagi untuk  melangkah keluar turut bercengkrama dengan dunia yang hanya dilihatnya dari balik jendela kaca. Seseorang itu tetap bergeming menjaga jarak dari pintu, meski ada beberapa orang yang mencoba mengetuknya. Sekali, dua kali, berkali-kali orang-orang datang mengetuk pintu, mengucapkan salam dan sedikit menyakinkan diri bahwa niatnya baik, mengajaknya melihat keindahan yang belum ia lihat dari dalam rumah. Seseorang dalam rumah itu tersenyum, jika ia membuka pintu dan berjalan keluar dengan orang yang telah mengetuk pintu rumah itu artinya ia akan lebih banyak juga melihat keburukan, kesedihan dan kesengsaran dari yang pernah ia lihat. Bukankah itu amat mengerikan untuk sekedar dibayangkan. Kemudian berlalu setiap orang yang mengetuk pintu itu setelah seseorang itu hanya bergeming tanpa berniat menyahuti ajakan. Ia terlalu takut untuk membuka pintu, ia terlalu takut untuk mempercayai orang-orang yang berada di balik pintu. Ia terlalu takut mempercayakan keamanan diri dan rumahnya pada orang asing yang hanya berupaya mengetuk pintu dengan janji-janji manis.

Bagaimana jika seseorang itu selamanya akan mengira orang-orang yang mengetuk pintu dan menunggunya di luar berniat jahat? Dengan tuturnya yang manis mampu menghipnotis pemilik rumah hingga apapun yang dikata, apapun yang diminta dengan sukarela diserahkan, dengan penuh senyuman diberikan. hingga mungkin barang berharga dan permata dari rumah itu lenyap.

Bagaimana jika seseorang itu selamanya akan mengira orang-orang itu hanya bermain-main dengan ketukan pada pintu? Lantas setelah ia mencoba membuka pintu orang yang mengetuknya barusan sudah tidak ada di tempat, melenggang pergi untuk mengetuk pintu rumah-rumah yang lain dan menawarkan hal serupa untuk menjerat mangsa dalam sebuah permainan. Orang-orang yang tak pernah serius untuk apapun dalam hidupnya, orang-orang yang tidak berkominten perihal kehidupan. Seseorang itu amat membenci orang-orang dengan lagak yang demikian.

Bagaimana jika seseorang itu tak pernah tertarik untuk membuka pintu rumah itu selamanya? Ia nikmati kesendirian dalam bilik yang paling menetramkan, memerhatikan bising di luar dari kejauhan. Bahkan boleh jadi ia akan tetap dalam hening dan tak menyalakan lampu rumah agar orang-orang enggan untuk melihat rumah itu apalagi untuk mendekati pintu dan mengetuknya. Karena ia tak mempercayai siapapun yang mengetuk pintu itu, hatinya kadung di penuhi firasat. Ia menganggap semua manusia di luar sana memiliki niat jahat yang tak seharusnya diberi kesempatan untuk sekedar dibukakan pintu untuk bertamu, apalagi untuk menetap dalam rumah itu.

Bagaimana jika seseorang itu benar-benar berakhir seorang diri? Memilih untuk tinggal dan menetap dengan kepercayaan penuh akan rumah yang mampu memberinya ketenangan dan ketentraman dari sebatas ilusi soal harapan kebahagian dari luar. Bagaimana jika seseorang itu benar-benar akan membangun benteng pertahanan kokohnya yang tak mampu ditembus siapapun. Seseorang itu kadung menekan bulat sebuah tekad, pintu rumah itu terlarang untuk dibuka. Hingga ada seseorang yang boleh jadi ia tunggu sejak lama ketukannya pada pintu itu, pemilik rumah sebelumnya.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun