"Silakan dicek terlebih dahulu, jika ada yang kurang pas mohon konfirmasi secepatnya," kukirimkan sebuah pesan setelah selesai membuat proposal penelitian salah satu mahasiswa akhir. Aku masih berada di room chat mahasiswa itu, segera bertanda centang biru, pesanku telah dibaca. Ia segera mengetikkan pesan perihal rasa puasnya atas pekerjaanku. Jika boleh kukatakan, ia juga mungkin belum paham betul atas apa yang kujelaskan tentang garis besar dari penelitian itu.
Setelah menengguk Mocha dalam gelas yang dibawakan salah satu Waiter aku kembali tenggelam dalam layar laptopku yang menyala. Salah seorang siswa SMA telah menanyaiku tentang penyelesaian tugas bahasa yang dikirimkannya kemarin sore. Notifikasi aplikasi perpesananku kembali menyala, aku mendapatkan tugas baru, membuat artikel yang akan diterbitkan pada sebuah jurnal dengan standar tinggi. Ia menyebutkan akan membayar dengan harga yang pantas jika dapat diterbitkan dalam jurnal tersebut.
Aku menyunggingkan senyum miris, mereka yang menghubungiku adalah orang-orang yang cukup punya nama dalam kehidupan sosial. Anak SMA favorite, mahasiswa universitas ternama, tak jarang juga dosen yang sangat dihormati. Mereka bukan berati bodoh melimpahkan pekerjaan yang dilabeli kewajiban itu padaku.Â
Menjadi dewasa adalah sekumpulan paradoks yang silih berganti. Kesibukan, kemalasan, dan pemahaman pada sebuah tahu, mana yang dapat mendatangkan kesenangan lebih besar dari sekedar mengerjakan kewajiban yang dapat dilimpahkan pada orang lain dengan sebuah imbalan. Bukankah itu siombiosis mutualisme, sama-sama mendatangkan kesenangan dalam sebuah kesepakatan rahasia.
Lihatlah dunia tak ubahnya segelas Mocha, perbedaan manis, pahit, hitam dan putih melebur membuatnya samar, mana yang manis sungguhan dan mana yang pahit betulan. Sesuatu yang nampak terkadang amat berbeda dengan yang sungguhan apabila telah melebur, semua terlihat kabur.
"Miss, terimakasih telah menghantarkan adek menjadi juara olimpiade matematika."
Aku memerhatikan sebuah pesan dengan sisipan gambar seorang anak tersenyum manis memeluk piala yang lebih besar dari tubuhnya. Anak itu bernama Azam, salah satu dari murid les privat yang menjadi pekerjaan utamaku. Tanpa sadar senyumku mengembang, ada sesuatu yang bermekaran dalam hatiku. Suatu yang mana aku berpikir telah melakukan hal yang bermanfaat dalam hidup.
Aku kembali menyesap segelas Mocha yang tinggal separuh, entah mengapa aku merasa sesapan kali ini berasa lebih manis dari pada sebelumnya. Layar ponselku menyala kembali, satu pesan masuk.
"Terimakasih, Kak. Sidang skripsiku lancar. Aku mempelajari semua kisi-kisi yang Kakak berikan. Dosen tak tau jika aku joki skripsi ke Kakak, semua aman, lancar dan nilaiku sempurna A."
Aku membaca pesan itu, tanpa sadar aku juga menyunggingkan sebuah senyuman. Senyum miris atas kalimat kebenaran dalam kepalsuan yang kuterima. Sampai di mana efek dari polesan yang kulakukan itu akan bertahan, menyembunyikan kebobrokan. Aku sesekali menyadari kesalahanku, yang kulakukan sama saja menghancurkan generasi-generasi itu. Menghancurkan marwah dari terhormatnya dunia pendidikan. Setelah kubangun sendiri pondasi kejujuran pada anak didikku di usia muda, aku menghancurkan bangunan itu sendiri dengan kecurangan dan ketidakjujuran dengan imbalan materi yang tak seberapa. Aku menjadi orang yang turut dalam pembangunan, namun juga berada di barisan paling depan dengan bom ditangan yang meski kecil efeknya begitu dahsyat meluluhlantakkan. Ada yang mengusik dalam hatiku, untuk kemudian perasan kosong dan hampa menyergap.
Aku mengambil sebungkus rokok dari dalam tas, menyalakan pematik, menghisapnya pelan. Mengedarkan pandangan, kafe rooftop menghadap jalanan ramai inilah favoriteku. Beruntung, pemilik kafe ini adalah pamanku sendiri, jadi aku punya tempat di pojok yang bebas kugunakan, Â dapat kupastikan tak akan mengganggu kenyamanan pengunjung lain.
Aku mengusap rambutku ke belakang, terus menikmati sesap demi sesap dari sebatang rokok yang menyala di tangan. Setidaknya untuk mengusir resah dan rasa tak nyaman dalam hati. Aku tak pernah memasang iklan promosi, aku hanya menerima yang datang memintaku untuk menyelesaikan bagiannya. Bukankah jika mereka datang padaku, Tuhan yang menggerakkan mereka, bukan aku. Tuhan-lah yang memberiku kesempatan itu. Aku hanya memanfaatkan peluang, apa salahnya.
Aku kembali menyesap sebatang rokok yang tinggal separuh, yang mana tak lagi memberi ketenangan, yang ada malah semakin rumit antara kepala dan hatiku bertengkar. Aku merasa ucapanku kosong tanpa arti.
"Apa yang sedang kamu cari, Ra?"
Demi mendengar suara itu aku mengalihkan pandang dari jalanan dan kesibukan sore di kota ramai itu menuju seberang meja. Sebuah kursi yang kuyakini sedari tadi kosong telah diduduki seseorang. Seseorang yang lebih mirip denganku. Aku mengusap mataku, membukanya, menggelengkan kepalaku pelan guna mendapat yakin akan kebenaran yang kusaksikan. Tatapan mata kami bertemu sejenak, hening. Aku larut dalam pikiranku sendiri, inikah efek dari sebatang rokok yang kuhisap? Hingga aku dapat melihat diriku duduk di hadapanku sore ini.
"Apa yang sedang kau cari dari hidup ini, Ra?" katanya mengulang pertanyaan itu lebih lengkap.
Aku kembali mengedarkan pandang pada gedung-gedung sebelah, kembali menyesap benda berasap di tangan. Mengabaikan tanyanya.
"Bukankah kau tau yang kau lakukan adalah sebuah kesalahan, kenapa kau tak berhenti? Apa yang sebenarnya kau cari?"
Aku menatapnya sekilas, wajahnya yang kusut itu, aku sungguh tak suka melihatnya. Pipinya yang tirus dengan cekungan mata yang semakin kentara, rambut hitamnya diterbangkan semilir angin sore.
"Apa yang kau cari, Ra? Materi? tanpa uang dari yang kau sebut sebagai pekerjaan joki skripsi dan tugas-tugas itu kau bahkan telah menerima uang lebih banyak. Apa yang kau cari dari sebatang rokok yang kau hisap dalam senyap ini? ketenangan?" sosok itu merebut putung rokok yang tersisa di tangan, membuangnya ke bawah lantas menginjaknya. Putung rokok itu terburai, di bawah kakinya.
Semburat jingga mentari yang bersiap tenggelam menerpa wajah, kota itu tetap ramai meski gelap sebentar lagi bertandang. Manusia percaya diri sekali mampu menaklukan gelap dengan lampu-lampu yang nyatanya memberikan efek pada emisi karbon yang dapat membawa dampak mengerikan di masa depan. Aku menghembuskan nafas berat, sadar atau tidak kerusakan demi kerusakan ada di depan mata. Dan manusia terjebak dalam diri yang membangun dan merusak dalam waktu yang bersamaan.
"Tidak ada yang aku cari dalam hidup ini, aku hanya ingin menikmati apa yang Tuhan beri." Aku menjawab pertanyaan itu pada akhirnya.
Namun, sosok yang mengajukan tanya itu telah lenyap dari hadapan. Aku celingukan, mencarinya di antara pengunjung. Nihil, ia lenyap begitu saja dan aku mulai merasa kalimat akan jawabanku barusan tak kuyakini ketulusannya. Jawaban yang berasal dari hatikah? Atau selintas di bibir sebagai pembenaran?.
Sejak percakapan di kafe sore itu, aku mulai memikirkan, apa yang sebenarnya aku cari dari hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H