Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa yang Sebenarnya Kau Cari?

6 Juni 2024   23:11 Diperbarui: 6 Juni 2024   23:16 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Silakan dicek terlebih dahulu, jika ada yang kurang pas mohon konfirmasi secepatnya," kukirimkan sebuah pesan setelah selesai membuat proposal penelitian salah satu mahasiswa akhir. Aku masih berada di room chat mahasiswa itu, segera bertanda centang biru, pesanku telah dibaca. Ia segera mengetikkan pesan perihal rasa puasnya atas pekerjaanku. Jika boleh kukatakan, ia juga mungkin belum paham betul atas apa yang kujelaskan tentang garis besar dari penelitian itu.

Setelah menengguk Mocha dalam gelas yang dibawakan salah satu Waiter aku kembali tenggelam dalam layar laptopku yang menyala. Salah seorang siswa SMA telah menanyaiku tentang penyelesaian tugas bahasa yang dikirimkannya kemarin sore. Notifikasi aplikasi perpesananku kembali menyala, aku mendapatkan tugas baru, membuat artikel yang akan diterbitkan pada sebuah jurnal dengan standar tinggi. Ia menyebutkan akan membayar dengan harga yang pantas jika dapat diterbitkan dalam jurnal tersebut.

Aku menyunggingkan senyum miris, mereka yang menghubungiku adalah orang-orang yang cukup punya nama dalam kehidupan sosial. Anak SMA favorite, mahasiswa universitas ternama, tak jarang juga dosen yang sangat dihormati. Mereka bukan berati bodoh melimpahkan pekerjaan yang dilabeli kewajiban itu padaku. 

Menjadi dewasa adalah sekumpulan paradoks yang silih berganti. Kesibukan, kemalasan, dan pemahaman pada sebuah tahu, mana yang dapat mendatangkan kesenangan lebih besar dari sekedar mengerjakan kewajiban yang dapat dilimpahkan pada orang lain dengan sebuah imbalan. Bukankah itu siombiosis mutualisme, sama-sama mendatangkan kesenangan dalam sebuah kesepakatan rahasia.

Lihatlah dunia tak ubahnya segelas Mocha, perbedaan manis, pahit, hitam dan putih melebur membuatnya samar, mana yang manis sungguhan dan mana yang pahit betulan. Sesuatu yang nampak terkadang amat berbeda dengan yang sungguhan apabila telah melebur, semua terlihat kabur.

"Miss, terimakasih telah menghantarkan adek menjadi juara olimpiade matematika."

Aku memerhatikan sebuah pesan dengan sisipan gambar seorang anak tersenyum manis memeluk piala yang lebih besar dari tubuhnya. Anak itu bernama Azam, salah satu dari murid les privat yang menjadi pekerjaan utamaku. Tanpa sadar senyumku mengembang, ada sesuatu yang bermekaran dalam hatiku. Suatu yang mana aku berpikir telah melakukan hal yang bermanfaat dalam hidup.

Aku kembali menyesap segelas Mocha yang tinggal separuh, entah mengapa aku merasa sesapan kali ini berasa lebih manis dari pada sebelumnya. Layar ponselku menyala kembali, satu pesan masuk.

"Terimakasih, Kak. Sidang skripsiku lancar. Aku mempelajari semua kisi-kisi yang Kakak berikan. Dosen tak tau jika aku joki skripsi ke Kakak, semua aman, lancar dan nilaiku sempurna A."

Aku membaca pesan itu, tanpa sadar aku juga menyunggingkan sebuah senyuman. Senyum miris atas kalimat kebenaran dalam kepalsuan yang kuterima. Sampai di mana efek dari polesan yang kulakukan itu akan bertahan, menyembunyikan kebobrokan. Aku sesekali menyadari kesalahanku, yang kulakukan sama saja menghancurkan generasi-generasi itu. Menghancurkan marwah dari terhormatnya dunia pendidikan. Setelah kubangun sendiri pondasi kejujuran pada anak didikku di usia muda, aku menghancurkan bangunan itu sendiri dengan kecurangan dan ketidakjujuran dengan imbalan materi yang tak seberapa. Aku menjadi orang yang turut dalam pembangunan, namun juga berada di barisan paling depan dengan bom ditangan yang meski kecil efeknya begitu dahsyat meluluhlantakkan. Ada yang mengusik dalam hatiku, untuk kemudian perasan kosong dan hampa menyergap.

Aku mengambil sebungkus rokok dari dalam tas, menyalakan pematik, menghisapnya pelan. Mengedarkan pandangan, kafe rooftop menghadap jalanan ramai inilah favoriteku. Beruntung, pemilik kafe ini adalah pamanku sendiri, jadi aku punya tempat di pojok yang bebas kugunakan,  dapat kupastikan tak akan mengganggu kenyamanan pengunjung lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun