Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Hukuman yang Kuterima

3 Juni 2024   23:14 Diperbarui: 3 Juni 2024   23:42 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun, kepalaku sedikit terasa berat seperti ada sesuatu yang berada di atasnya. Aku meraba kepalaku, kurasakan memang ada sebuah benda yang bertengger di sana.

"Kenapa tak bisa, Mas. Ini sudah Zaman modern, mana ada cinta tak bisa bersatu karena terhalang suku. Astaga lelucon dari mana itu." Aku tiba teringat protesku pada lelaki yang kucintai itu.

"Semua keluargaku menentang aku menikahimu, Neng. Tidak ada yang dapat kulakukan, ini perihal ridho orang tua. Bukannya aku tak ingin memperjuangkanmu, tapi di hadapan kita tembok itu kokoh sekali." Lelaki itu menatapku dengan tatapan iba. Berusaha menjelaskan lebih baik, bahwa meskipun pada akhirnya kami tak dapat bersama, ia tetap akan mencintaiku. Omong kosong macam apa itu. Itu sama saja menyakitiku dan menyakiti perempuan yang akan menjadi istrinya nanti.

Aku menghembuskan nafas kesal, kesal sekali. Mengalihkan pandang dari lelaki itu, hanya karena perbedaan suku antara Jawa dan Sunda ikatan cinta antara kami tak dapat terjalin.

"Kamu ini raja, Mas, raja atas hidupmu. Dan kamu bebas menentukan hidupmu, jangan seperti Hayam Wuruk raja yang kalah pada mahapatihnya. Lihat, dia kehilangan cintanya. Dia harus melihat Dyah Pitaloka meregang nyawa karena ketidakmampuannya melindungi dan memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi miliknya."

Tentu saja aku tau sejarah itu, sejarah yang melatarbelakangi keluarganya tak menyetujui kami menikah. Larangan yang tak masuk akal.

"Aduh," keluhku tertahan, nyeri menjalari kepalaku. Ada sesuatu yang kuingat selain pertengkaran yang terjadi antara aku dan lelaki itu. Iya, aku mengingat setelah pertengkaran usai aku terjatuh dari kendaraaan roda dua karena berkendara dengan amarah yang meledak dalam dada.

"Sudah bangun, segera bergegas, acara akan segera dimulai," ujar seseorang yang muncul dari balik pintu.

Aku menyerngitkan dahi, memandang sekitar. Atap ruangan yang tinggi degan dinding yang dihiasi ornamen berwarna keemasan dengan beberapa kain berenda sebagai tirai jendela dan pintu. Aku seperti berada di lokasi syuting untuk drama kolosal yang sering kutonton dulu. Aku menoleh ke arah cermin yang tak jauh dari tempatku berada.

"Hahhh!" Aku memekik, terkejut memandangi pantulan diri yang ada dalam cermin. Seorang wanita dengan paras anggun, rambut hitam panjang terurai dengan beberapa hiasan rambut yang bertengger sedikit berantakan di atas kepala.

"Siapa aku?"

"Tak usah bersandiwara, cepat rapikan dandananmu dan bergabung di ruang tengah dengan pelayan yang lain. Banyak yang perlu di persiapkan karena kita akan menyambut keluarga calon besan kerajaan Majapahit," kata perempuan yang memiliki dandanan yang sama denganku itu.

"Majapahit? Bergabung dengan pelayan yang lain?"

Aku merasakan kepalaku yang makin berdenyut, mendengarnya. Namun, dengan cepat aku mengaitkan beberapa hal yang kudapat dari apa yang kulihat, kudengar juga kurasakan. Apa kecelakaan yang kualami sebelumnya telah membuka pintu portal ajaib menuju masa lalu dan  jangan-jangan umpatan yang telah kulontarkan pada raja paling tersohor dari kerajaan besar. Sebesar Majapahit membuat para dedemit marah dan mengirimku ke tempat ini untuk menerima hukuman. Mungkinkah acara yang dimaksud wanita itu adalah acara hukuman pancung untukku, aku mengedikkan bahu merinding, membayangkan sesuatu yang tidak-tidak.

"Bergegas, Lasmi!" seru wanita itu kembali memasang wajah garang di depan pintu.

Siapa pula Lasmi, nama perempuan ini Lasmi? Entahlah, kupikir iya. Aku segera merapikan dandanan, menghembuskan nafas mencoba menenangkan diri.

"Baiklah, mari menerima hukuman pancung, Andia. Setidaknya jika nanti bertemu dengan raja Hayam Wuruk katakan ia harusnya tak menyerah semudah itu memperjuangkan cintanya yang beda kerajaan juga beda suku itu. Harusnya ia dapat menentang mahapatihnya, yang dengan pengibaratan level berada di bawahnya. Sehingga generasi sesudahnya tidak perlu menderita dengan peraturan tak masuk akal itu, larangan menikah antara Sunda dan Jawa," kataku pada diri sendiri sembari melangkahkan kaki mengikuti wanita itu.

Setelah aku mengamati banyak hal, menggali informasi, ternyata acara yang dimaksud adalah acara pernikahan anak raja Hayam Wuruk, putri Kusumawardhani. Aku tak sempat tertegun karena mereka menikah saat umur belia, maklumlah menjaga silsilah kerajaan.

Di tempat itu aku juga melihat mahapatih Gajah Mada yang berperawakan gagah di usianya yang tak lagi muda. Wajah dengan garis rahang kokoh dan postur tubuh yang tegap, berbeda sekali dengan patung gajah mada yang pernah kulihat, gendut dengan banyak lemak. Yang ini keren pake banget, bangat. Aku juga melihat maharaja Hayam Wuruk dengan permaisurinya-Sri Sudewi- yang cantiknya bukan main. Bahkan boleh jadi matahari minder dengan cantiknya yang begitu bersinar.

Tiba-tiba aku teringat akan kalimat lelaki bodoh yang kucintai itu, jika ia akan tetap mencintaiku meski telah menikah dengan perempuan lain. Apakah Prabu Hayam Wuruk juga begitu, ia masih belum juga move on dari putri kerajaan Sunda Dyah Pitaloka. Yang mana menurut perkiraanku ia sudah wafat di tahun itu.

Pekerjaanku hilir mudik membawa nampan-nampan berisi makanan dan minuman dengan beberapa pelayan lain. Nasib, jika boleh memilih lebih baik aku bangun dalam tubuh putri Kusumawardhani yang akan menikah, setidaknya jika tidak dapat menikah di dunia nyata, aku dapat menikah di kerajaan Majapahit. Aku seperti teringat sesuatu, maka aku memutuskan bertanya tentang perang Bubat, perang yang memisahkan cinta yang melegenda.

"Tidak ada perang Bubat, Lasmi."

"Eh, ada. Perang Bubat itu ada, aku pernah membacanya perang yang menewaskan raja dan putri kerajaan Galuh (sunda). Dan itulah yang membuat suku Sunda dan Jawa tak bisa bersatu di masa depan," kataku menggebu, tak terima dengan penjelasan pelayan wanita itu.  

Pelayan wanita itu menatapku dengan tatapan bingung. "Tidak ada perang itu dan raja maupun putri kerajaan Sunda itu tidak tewas, semuanya baik-baik saja, kamu ini bicara apa. Aneh sekali hari ini. Bergegas ambil, antar makanan ini."

Aku balik kanan menuruti perintahnya membawa nampan besar penuh berisi makanan. Dalam posisi terburu  diliputi kebingungan pada informasi yang kuterima itulah aku menabrak seseorang yang membuat makanan berhamburan ke mana-mana. Kejadian itu berlangsung singkat, sesingkat nasibku berada di istana Majapahit.

"Siapa pelayan itu, berani-beraninya mengotori istana dan tamu kehormatan, seret dan penggal  kepalanya!!!"

Aku tergeragap, penggal kepala. Eh, sesepele kesalahan itukah? Memberikan hukuman. Semua bisa dibicarakan baik-baik, bukan? Sedang di masa depan koruptor yang merugikan negara saja tak akan pernah mengenal sanksi apalagi sampai di penggal kepalanya seserdahana menumpahkan makanan di masa lalu.

Sretthhh...

Seorang Algojo telah bersiap dengan pedang di tangan, tamatlah riwayatku. Tak jadi menikah di tahun 2023 apalagi di zaman Majapahit. Lebih tragis daripada nasib koruptor kelas kakap. Dua detik sebelum berakhir gelap, aku dapat melihat kepalaku yang menggelinding.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun