Sidang Isbat penentuan awal satu ramadhan telah digelar kemarin dan diumumkan bahwa hari pertama ramadhan jatuh pada hari Selasa. Adzan isya telah berkumandang dari mushola dekat rumah, rasanya adzan yang setiap hari kudengar terasa berbeda malam itu. Ada sesuatu yang menyusup hangat dalam dada, Senang? Tentu saja, itu artinya tahun ini aku masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan bulan yang penuh berkah.
Aku keluar dari rumah,berjalan menuju mushola yang mana orang-orang mulai berdatangan untuk melaksanakan sholat Isya dan dilanjutkan dengan sholat tarawih dan witir. Segerombolan anak tetangga yang usianya sekitar belasan tahun terdengar semarak, riang sekali langkahnya menyalipku, berlari siapa cepat sampai di mushola, mungkin juga mereka akan berebut tempat. Salah satu dari mereka manyapaku, ramah.
"Hati-hati jangan lari-lari nanti kalian jatoh," balasku, ngeri sekali melihat mereka berlari dengan pencahayaan yang tak cukup memadai dari sorot lampu teras-teras rumah yang menerangi jalan.
Aku tertegun, seperti familiar sekali dengan perkataan yang baru saja kuucapkan. Untuk kemudian senyum dibibirku tersungging, bukankah itu kalimat orang dewasa yang kudengar ketika aku berusia belasan tahun, saat berlarian menapaki anak tangga mushola, beradu dengan teman sebaya.
Ini adalah ramadhan pertamaku menetap di kampung, setelah enam tahun kuliah dan bekerja di perantauan. Tahun-tahun itu, tiap aku kembali ke kampung, aku tak pernah melaksanakan sholat tarawih di mushola dengan alasan aku tak punya teman sebaya lagi. Beberapa teman sudah menikah dan lainnya masih betah untuk menetap di perantauan. Rasanya mushola menjadi tempat yang tak asik jika tak ada teman-teman sebaya, apalagi jika harus bersama dengan yang lebih tua, ibu-ibu suka sekali ingin tahu urusan orang lain dan sering sekali bergunjing jika sudah saling bertemu. Jika bersama yang lebih muda, aku merasa terasing, obrolan mereka berbeda denganku. Maka, sudah enam kali ramadhan aku tak pernah mengikuti sholat tarawih di mushola dengan dalih sholat itu sunnah saja bukan wajib, padahal alasannya hanya karena aku tak lagi punya teman sebaya. Bagi seorang yang introvert sepertiku, itu suatu keadaan yang cukup sulit untuk kukendalikan.
Ramadhan tahun ini, sepertinya pikiranku sedikit terbuka, boleh jadi itu adalah hidayah dari Tuhan akan pemikiranku yang keliru sebelumnya. Bukankah aku datang untuk beribadah, kenapa aku hanya berfokus pada teman sebaya yang punya frekuensi yang sama dalam tindakan dan obrolan. Padahal di Mushola tidak ada celah untuk berbicara, fokus untuk beribadah mengikuti gerakan imam, bukan mengikuti teman sebaya. Aku tertawa kecil menyadari kebodohanku.
"Kok pada di teras, nggak masuk? Itu masih banyak yang kosong?" kataku di ambang pintu pada gadis-gadis umur belasan yang tadi menyalipku. Mereka telah menggelar sajadah di teras masjid.
"Nggak, Mba, biar ibu-ibu aja yang ngisi."
"Iya, nanti kami dimarah kalau ribut di dalam."
"Di sini lebih isis, Mba."
Aku geleng-geleng kepala mendengar jawaban mereka. Ah tentu saja aku juga tak asing dengan jawaban mereka, itu adalah jawaban yang sama saat aku dan teman-teman sebaya memilih untuk sholat di teras dari pada di dalam masjid. Sebenarnya akan lebih bebas di teras, dulu karena terlalu banyak rakaat sholat tarawih, kami yang umur belasan tahun sering hanya ikut pada rakaat pertama dan terakhir, selain itu kami berbincang apa saja dengan berbisik-bisik. Saat kelepasan tertawa keras, serempak kami membekap mulut, untuk kemudiaan saat jeda rakaat salah seorang ibu memarahi kami.