Aku berjalan menapaki trotoar yang cukup ramai dengan lalu-lalang orang yang pulang dari tempatnya bekerja. Sebagaimana aku, orang-orang yang berpapasan denganku membawa bebannya masing-masing, mungkin beban tagihan rumah, cicilan kendaraan, uang bulanan kebutuhan rumah tangga dan juga kebutuhan sekolah anak-anak. Lain fikiran, lain juga beban hati, seoonggok daging itu jika sudah sakit, maka seluruh syaraf-syaraf yang saling terhubung dalam tubuh juga mengirim sinyal yang tak mengenakan, terlebih sungguh tak nyaman melakukan aktivitas.Â
Perkataan kasar dari atasan, perkataan yang buruk soal kekurangan diri dari rekan kerja juga penolakan akan cinta dari seorang yang benar-benar terkasih akan terus membekas, sukar sekali untuk disembuhkan. Aku menghembuskan nafas berat, jika aku dapat melihat hal itu, mungkin aku tak akan merasa punya beban seberat gunung dalam pundak. Benar, kata Allan setiap orang dengan bebannya masing-masing, asal kita tau. Eh, kenapa aku jadi mengingat barudak satu itu.
Di balik orang yang tersenyum ramah, di balik orang yang berjalan tegap dengan dada yang membusung ada sesuatu yang tak pernah diketahui orang-orang yang hanya selintas berpapasan di jalan. Orang-orang saling menyimpan rahasia, atau sebenarnya mereka tak ingin menyimpan rahasia, hanya saja tak tau bagaimana  cara membagi dan dengan siapa ia akan percayakan membagikan hal itu.
Sejak hari pertemuan di kafe dengan lelaki itu, hari-hariku memang terasa seperti rollercoaster terus berputar hingga titik tertinggi lantas terhempas hingga titik terendah. Sebenarnya itu bukan masalah besar, tubuhku masih sehat dan bugar, dompetku juga tak pernah kosong selama ini, tak ada yang kurang dalam hidupku jika kufikir-fikir. Pekerjaan, karier, pertemanan dan keluarga semuanya berjalan harmonis dan selalu membuatku merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia ini. Hanya saja, sudah pernah kukatakan, perihal seoongok daging itu semuanya terasa kacau sekali. Apa yang ada di dalamnya terasa sungguh menyiksa meski aku sudah berusaha untuk memberinya obat penawar, sudah kubalut juga lukanya. Meski katanya cinta bukan sebuah kalkulasi, yang mana tak ada kewajiban seseorang untuk membalas perasaan cinta yang dimiliki orang lain padanya, nyatanya cinta tak terbalas memang sesakit itu.
Aku berhenti, bersama beberapa orang yang juga berhenti di halte, menunggu Bus yang melaju ke arah di mana kembali menjadi sebuah tujuan untuk sejenak mengistirahatkan hati, badan dan fikiran. Meski sebenarnya semua itu hanyalah fatamorgana, dalam kesendirian dan sepi semua itu semakin riuh dan berisik. Apalagi perkara hati dan segala hal yang ada di dalamnya, takut, kalut, khawatir dan perasaan cinta yang berakhir tragis.
Bus berhenti tepat di depan halte, orang-orang sedikit bergeser demi memberi ruang pada mereka yang akan turun. Satu persatu orang-orang yang ada di depanku menaiki Bus, lantas tiba giliranku yang sejenak terpaku di depan layar kecil yang tak kunjung menyala meski aku berulang kali menempelkan kartu milikku.
"Ah, Sialan, aku lupa jika saldoku habis." Aku menggerutu, ternyata patah hati telah membunuh separuh lebih dari warasku hingga aku melupakan hal yang tak seharusnya aku lupakan, saldo itu.
"Ternyata kau masih juga ceroboh, Ra."
Aku menoleh demi mendengar suara berat lelaki di belakangku, yang kemudian disusul dengan sura bib kecil dua kali, lampu layar kecil itu menyala dua kali juga.
"Hai," ucapku refleks, demi menyembunyikan debaran jantung yang tiba-tiba bertambah volumenya demi melihat satu mahluk Tuhan yang ada di depanku. Lihatlah Tuhan, bukankah aku meminta agar jangan pertemukan aku dan dia di ketidaksengajaan manapun, karena aku tau aku tak sekuat itu untuk mengendalikan diri. Meski kuakui aku sungguh-sungguh merindukannya. Rindu yang entah bagaimana harus kukendalikan, saat rindu menginginkan bertemu dan tidak bertemu pada waktu yang bersamaan.
"Ayo, jalan, kau menghambat laju Bus ini, Ra."
Aku beringsut mengambil langkah, menuju kursi penumpang disusul lelaki itu. Lelaki yang entah sejak kapan berada di sekitarku. Bukankah kantor tempatnya bekerja jauh dari tempat ini. Dan apa gerangan maksud semesta mempertemukan aku dan lelaki itu. untuk menguji pertahananku kah? atau menguji sejauh mana aku mampu mengendalikan setiap rumpun perasaan yang tumbuh menyubur beberapa tahun terakhir.
Apakah ini sebuah kebetulan atau memang, ah entahlah. Nanti kutanyakan padanya perihal itu daripada aku sibuk menebak apa yang terjadi. Tak mungkin jika ia menaiki bus ini, atau pergi ke tempat ini karena aku. Maksudku karena aku sahabat baiknya. Karena aku bukan wanita itu, wanita istimewa yang telah memenuhi seluruh hatinya dengan cinta yang membahagiakan.
"Di sini, Ra," ucap lelaki itu melewatiku menuju belakang. Lantas menarik tanganku dan menunjukkan padaku sebuah kursi yang kosong. "Duduklah," katanya kemudian, lantas berdiri di sampingku, menghadap ke arahku. Seolah berusaha melindungiku dari dunia luar yang mungkin saja dapat menggangguku.Itu sudah menjadi kebiasaannya dari awal kami mengenal dan berakhir akrab satu sama lain.
Aku mengatur nafas,melirik sekilas pada tegap posisinya berdiri di sebelah, kenapa ini jadi sepeti adegan romantis pada drama Korea yang kutonton beberapa hari lalu. Bedanya dalam drama itu memang kisah yang romantis, sedangkan ini adalah kisah yang tragis.
"Kau dari mana, Heh?" tanyaku mendongak mencoba menatap wajahnya, mencoba senetral mungkin. Meski rasanya sungguh aneh sekali. Aku merasa tak bebas untuk mengutarakan tanya atau melempar guyonan padanya setelah kejadian di kafe beberapa hari lalu. Aku tau, di tempat ini, di dalam bus ini, hanya aku yang demikian. Lelaki yang kini menatapku ini pastilah biasa saja, bahkan tanpa beban mungkin ia akan mengupil sembarangan di depanku.
Tidak, tidak, ia tak pernah melakukan hal jorok di depanku meski aku dan dia sering bersama kemarin-kemarin. Lelaki ini tak seperti Allan yang terlalu bar-bar, lelaki ini  hanya sedikit bar-bar saja.
"Aku ada pertemuan tadi dengan rekan bisnis, Ra. Di sebelah galeri seni tempatmu bekerja." Lelaki itu menjelaskan lebih baik. Â Syukurlah.
"Kupikir kau akan naik Bus untuk pulang, jadi aku memutuskan untuk naik bus juga daripada pulang bersama rekan yang lain."
"Kenapa begitu?" tanyaku mendongak menatapnya lagi.
Lelaki itu tersenyum, senyum yang amat manis untuk kunikmati seorang diri. Senyum yang sesungguhnya telah dimiliki perempuan lain dan itu bukan aku. Sungguh terimakasih telah memberiku kesempatan menyaksikan wajahnya yang sungguh sumringah itu, Tuhan. Aku mengedipkan mata, menggerakkan kepala pelan, mencoba mengembalikan fokus, aku harus menahan diri.
"Pengen aja," jawabnya ringan.
Jawaban macam apa itu, astaga.
"Eh, Ra."
"Hemm,"
"Kau yakin yang kemarin menjemputmu pulang dari kafe itu lelakimu sungguhan?"
"Maksudmu?" reflek aku memburu tanya, bagaimana mahluk itu dapat mengendus bau-bau konspirasi antara aku dan Allan tempo hari. Untuk mengelabui dirinya bahwa aku mungkin saja sudah move on darinya dan pengungkapan itu tak berarti apa-apa untuk kehidupan antara aku dan dia ke depannya.
"Aku sempat liat dia jalan dengan perempuan, terlihat mesra. Kupikir bukan jika itu adik atau saudaranya. Sebenarnya aku mengejarnya, untuk memastikan siapa perempuan itu, nihil. Aku tak akan tinggal diam jika lelaki itu berbuat yang buruk dan menyakitimu, Ra." Lelaki itu sedikit menekankan kalimatnya di ujung, menundukkan badannya hingga suaranya terdengar mulus di telingaku.
Aku tersenyum, membatin dalam hati. Perempuan itu memang yang sungguhan kekasih Allan, bukan aku. Tapi lelaki itu tak boleh tau akan sandiwara itu. Apa perlunya? Ah ya soal siapa yang berbuat buruk padaku dan menyakitiku bukankah dialah orangnya.
"Allan lelaki yang baik, kau harus percaya itu, Heh." sinis kucoba meliriknya.
Sekilas aku memandang lelaki itu, tidak, kutarik kembali ucapanku. Ia tak pernah berlaku buruk, ia tak pernah menyakitiku, aku merasa sakit karena perasaanku sendiri. Ia berlaku demikian karena ia tak tau jika aku akan tersakiti karenanya, ia tak tau. Jika ia tau ia tak akan melakukan hal itu padaku. Ah, cerita-cerita itu, bagaimana bisa kemarin-kemarin aku mendengarkannya dengan hati yang sungguh lapang dan ikhlas untuk kemudian aku merasa gagal dan sakit seorang diri pada akhirnya.
"Aku akan mengawasi lelaki itu, bagaimanapun juga kau juga istimewa dalam hidupku, Ra. Aku tak ingin kau kenapa-kenapa."
Ah, istimewa, apa yang kau maksud dengan istimewa itu. Apa definisi istimewa dalam kamus kita berbeda. Kau merujuk kamus mana untuk pemaknaan itu. Lantas jika aku kau sebut istimewa bagaimana dengan perempuan yang meluluhkan hatimu itu, perempuan yang akan kau nikahi dalam hitungan bulan. Tak mungkin ada dua perempuan istimewa yang kau punya, atau kau mungkin punya perempuan-perempuan lain yang istimewa dalam hidupmu, misal ibumu atau saudara perempuanmu.
"Baiklah, baiklah, lakukan sesuka kau saja, heh." Aku menyerah, untuk kemudian menatap keluar jendela yang tiba-tiba gerimis.
Apa gerimis itu juga turun untuk mempermainkan perasaanku, ah sialnya, gerimis kali ini aku bersama lelaki itu. Entah aku harus berterimakasih atau merutuk akan hal itu, hatiku masih berdebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H