"Kau sudah punya tokoh panutan, Han?" tanya Galih padaku.
Aku berfikir sejenak. Namun, semakin gencar memainkan juntaian kakiku di permukaan danau.
"Kayaknya sih enggak. Bahkan orang yang aku kira baik ternyata jahat," ucapku menoleh ke arah Galih yang tak ikut menjuntaikan kaki sepertiku.
Di tepi tanah yang menjorok ke danau dengan pohon tinggi tumbuh di atasnya membuat tempat itu bahaya, sekaligus nyaman. Katanya tempat yang paling nyaman boleh jadi paling berbahaya, begitupun sebaliknya.
Aku dan Galih sering menghabiskan senja hari di tempat itu. Memandang bola matahari yang tenggelam perlahan. Permukaan danau berkilau ditimpa cahaya senja yang jingga. Namun, bagiku semakin matang senja, ia terlihat menakutkan saja. Karena boleh jadi di antara remang cahaya yang mulai menghilang ada banyak hal yang tak pernah manusia tau sedang mengintai. Itu peralihan siang dan malam, seperti gerbang kegelapan yang terbuka. Banyak mitos tentang mahluk halus berkeliaran saat Magrib tiba.
Galih tertawa mendengar penuturanku yang demikian. Beralih mengeluarkan pendapatnya tentang malam yang legam, hitam dengan purnama yang bertengger di tengah langit yang maha luas.
"Purnama adalah waktu paling tepat untuk memberikan persembahan-persembahan, Han. Ketika lolongan Srigala hutan terdengar membuat bulu kudu meremang saat itulah, purnama yang kau bilang cantik mengeluarkan seringai yang mengancam."
"Mana ada begitu," elakku tak mau kalah. Bagaimana bisa purnama yang begitu cantik diatas danau ia deskripsikan dengan semisterius dan sehorror itu. Memandang rembulan yang tengah bundar di langit bagiku seolah ada sebuah ketenangan yang  memelukku, membuatku amat menyukai berlama-lama menatap purnama. Berbeda dengan Galih yang menyukai menatap senja.
Meski begitu, aku dan Galih tetap manatap dua keindahan itu bersama. Menyaksikan senja juga purnama di tempat yang sama. Dengan banyak perbincangan mengenai apapun yang tengah terjadi di desa kecil kami. Tentang kepercayaan orang-orang mengenai penunggu tempat ini dan tentang banyak hal lain.
Aku dan Galih dilahirkan di hari yang sama. Hanya selisih beberapa jam, mungkin hal itu yang membuat kami terus akrab meski tak jarang saling cekcok. Galih tinggal dengan ibunya yang seorang janda. Sedang aku tinggal dengan nenekku yang sudah sangat renta.
Ke mana ayah Galih dan orang tuaku, mereka sudah wafat sepuluh tahun silam, saat usia kami lima tahun. Bencana alam memporak-porandakan desa  yang berada di lereng bebukitan ini.