"Terlepas dari Ustdaz salim yang ketahuan selingkuh, nenekmu yang sering melakukan sesembahan untuk nenek moyang dan juragan Broto yang punya maksud tertentu dalam setiap perbuatan baiknya, mereka adalah orang-orang baik yang telah banyak berjasa. Tapi bukan berarti aku membenarkan prilaku buruk mereka hanya karena aku amat menyukai sosoknya, bukan, Han?" lanjut Galih.
"Mereka hanya manusia biasa, yang tak luput juga dari salah. Perbuatan mereka memang patut untuk dibenci tapi tidak pada orang-orangnya. Toh, mungkin sengaja atau tidak suatu hari kita akan melakukan kesalahan yang mungkin diluar kendali kita. Tak akan ada yang tau esok hari, Han. Boleh jadi kau juga menganggapku jahat suatu hari nanti." Galih tersenyum diakhir kalimatnya. Senyum ketulusan dari luasnya padangannya mengenai orang-orang yang ada si sekitar.
"Sudahlah, ayo balik. Sebentar lagi magrib."
Aku bangkit berdiri, disusul Galih. Senja hampir sempurna tenggelam di ujung sana. Aku sama sekali tak menduga, Galih akan punya pemahaman sebaik itu. tapi untuk saat ini aku masih belum bisa menjadi Seperti Galih, padanganku masih sempit, sesempit waktu magrib.
"Ayo bergegas, Lih!" seruku
Galih yang tertinggal beberapa langkah menyusulku berlari.
"Kau tak marah, kan, Han?"
Aku terus meneruskan langkah tak peduli akan tanya Galih yang kudengar.
***
"Kau kemana saja, Han?"
Aku masih tersenggal menyusul duduk di sebelah Galih, menjuntaikan kaki ke arah danau. Padahal dulu aku takut sekali jika saat malam bulan purnama menjuntaikan kaki ke arah danau. Takut diseret hantu banyu, tapi itu hanya mitos. Tak ada hantu banyu, atau aku saja yang belum pernah melihatnya.