"... hebat lo, Han."
"Hemm, Gimana, Lih?" aku menoleh ke arah Galih, barusaja ia mengatakan apa? Aku tak mendengar, aku sedang memikirkan hal lain.
"Nenek kamu padahal hebat lo, banyak yang kagum dengan beliau malah."
Aku mengangguk setuju soal itu, tapi soal beliau menjadi panutanku, entahlah.
"Kamu masih sering disuruh masuk hutan untuk mencari herbal-herbal itu?"
Aku menggeleng, sanak saudara dari yang sakitlah yang mencari herba itu selama ini. nenek sudah jarang sekali menyuruhku. Sejak aku merusak acara persembahan sesajen yang diberikan Nenek untuk nenek moyang itu katanya.
"Ibumu masih bekerja di tempat juragan Broto?"
"Iya, dan juragan Broto sangat baik sekali terhadap kami. Sering memberi sesuatu, kukira orang kaya nan dermawan seperti beliau patut dijadikan panutan, Han."
Aku mencebik, tak setuju dengan kalimat itu. Galih tak tau saja, aku dapat menangkap sesuatu yang aneh dari tingkah juragan kaya raya itu. Banyak orang yang mengelu-elukannya sebagai orang baik, inilah, itulah. Tapi aku kerap kali reflek menggeleng untuk menyetujui hal itu. alasannya? Entahlah, firasatku mengatakan ada sesuatu.
"Kau tau Ustad Salim kan?" tanyaku lagi
Galih diam-diam memelototiku, "Jangan bilang kamu ingin mengajakku berghibah soal yang tengah diperbincangkan orang tentang ustadz salim yang kepergok selingkuh," lanjut Galih sedang aku tertawa terpingkal. Sebenarnya aku hanya ingin menggodanya soal fakta yang sungguh menggemparkan soal panutannya itu.