Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bintang yang Terlihat Redup

15 Februari 2023   08:07 Diperbarui: 15 Februari 2023   08:19 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku duduk meluruskan kaki, melihat ujung sepatu putihku yang terkena lumpur. Berlari ditengah hujan yang akan mereda tidaklah mudah. Menghindari genangan dan juga tempat yang licin, semennya berlumut.

Memilih tempat duduk yang terlihat sepi dari kerumunan orang yang berteduh, berisik sekali dengan coleh beberapa mahasiswi yang suaranya besar. Tak tau malukah mereka bercerita bertiga tetapi seluruh tempat itu mendengarnya. Tak berfikirkah jika suara mereka mengganggu ketenangan rinai hujan yang turun layaknya harmoni yang sedang dimainkan semesta. Gemerisik yang indah ditelinga.

"Kau kan penulis, Luk. Jika memperhatikan orang-orang dikampus besar ini, kisah siapa yang akan kau tulis?"

Reflek aku menoleh, bukan terkejut. Tentu saja aku tau itu suara siapa, seseorang yang sudah sedari tadi bersamaku, bahkan sejak hujan pertamakali turun. Terjebak hujan, berteduh. Gerimis masih membungkus pelataran kampus, rintik yang jatuh seolah sama saja. Ukurannya ya segitulah, tetesan kecil yang jatuh dari langit namun bertubi-tubi tanpa jeda.

Dulu aku selalu bertanya bagaimana hujan turun berupa tetesan, bukan langsung tumpah layaknya air terjun.  Apakah diatas langit sana ada sebuah saringan air yang berbentuk seperti saringan santan yang dipunyai mamak dirumah, bolong-bolong.

"Kalau airnya turun macam air terjun, rusaklah bumi, Luk. Macam mane Kau ini. kau pernah berdiri di tengah hujan deras? Atau saat hujan gerimis tiba. Tpok, tpok, tetesan agak besar mengenai wajahmu, sakit kan? Kalau macam air terjun, badan kau yang kurus ini bisa terbawa arus entah sampe mana."

Aku tertawa, benar juga. Namun,ia terlalu berlebihan menanggapi pertanyaanku mengenai tetes hujan yang turun. Bawa-bawa kurus, body shaming. Aku mengingat perkataan teman waktu itu,

"Entahlah, aku belum punya ide," jawabku menyenderkan punggung kesenderan kursi.

"Untuk menjadi tokoh utama sebuah cerita, tentu ia harus punya cerita hebat. Kalau tidak, ceritamu tak akan menarik bukan?." Orang disampingku mengajukan tanya kembali

Aku mengangguk setuju, meski aku belum mahir betul di dunia kepenulisan. Namun, materi tentang penokohan dan alur cerita aku sudah beberapa kali mengikuti kelasnya. Dan ya, sama saja penjelasan itu, menarik dan beda dari yang lain itu kata kuncinya dalam menentukan tokoh dan alur cerita.

"Kisah Bu, Rektor kayaknya seru. Bertema wanita independen. Setiap hari menghadiri acara, dengan sambutan meriah dan khidmat saat beliau masuk. Atau Pak Dekan, kau mengikuti akun instagram beliau bukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun