Mohon tunggu...
Humaniora

Pemulihan Korban Trauma Melalui Hubungan Terapeutik dan Empati

17 April 2019   07:02 Diperbarui: 17 April 2019   07:16 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bullying merupakan sebuah kasus yang sangat serius di indonesia. Di lansir dari tempo.co, saat memperingati Hari Anak Nasional, KPAI mencatat kasus yang paling banyak adalah bullying.

Bullying adalah tindakan dimana ada seseorang atau lebih yang mencoba menyakiti dengan kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun non fisik (menghina dan berbicara kotor). Dan apa yang terjadi dengan korban bullying ? Tentu saja mereka akan mengalami gangguan psikis, seperti trauma. Nah lalu bagaimana caranya ? Apa yang harus dilakukan ? 

Dengan merawat pasien bullying adalah hal yang paling tepat untuk menyembuhkan psikis dari si pasien,yaitu melalui interaksi antara konselor dan pasiennya. Dan dalam BK, itu disebut konseling terapeutik. Di dalam konseling terapeutik, pasien akan melalui 3 tahap penyembuhan :

1. Psikodinamika, dimana pendekatan ini, pasien akan dimotivasi secara tidak sadar dan konselor akan meronkstuksi kejadian. 

2. Eksperiensial: konselor akan menggunakan terapi, seperti terapi client-centered (berdialog antar konsumen) dan terapi tingkah laku.

3. Tingkah laku : dengan melalui terapi rasional-kognitif dan tindakan.

Jika 3 tahap penyembuhan sudah dilakukan, konselor juga harus menempatkan posisinya untuk bisa memahami dan mengerti kebutuhan perasaan si pasiennya. Dan dalam BK, itu disebut empati. Sangat penting bagi konselor untuk melakukan hal tersebut, karena jika pasien merasa dimengerti, dia akan mudah membuka diri dan menyampaikan masalahnya. 

Lalu apa hubungan terapeutik dan empati ? 

Terapeutik adalah hubungan interaksi antara konselor dengan pasien. Interaksi tersebut bertujuan untuk menemukan penyebab masalah si klien serta mengidentifikasi masalah apa yang terjadi dengan pasien.

Dengan adanya rasa empati yaitu rasa untuk memahami si pasien dan menempatkan posisinya pada pasien,pasien akan lebih mudah untuk berinteraksi dan si pasien akan merasa dibantu untuk menyelesaikan masalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun