Seorang pria tengah menginjak gambar presiden terguling Bashar al-Assad, saat orang-orang tengah memasuki kediamannya di daerah Malki, Damaskus, pada Minggu (8/12/2024), setelah terjadinya pemberontakan yang menyatakan mereka telah merebut ibu kota Suriah dalam serangan kilat, sehingga menyebabkan Assad melarikan diri dan mengakhiri lima dekade kekuasaan keluarganya di Suriah.
Kompasiana, Yogyakarta - Runtuhnya Bashar al-Assad sebagai Presiden Suriah menjadi salah satu peristiwa besar yang dapat mengubah dinamika politik dan keamanan Timur Tengah. Hanya dalam waktu 11 hari, pemberontak Suriah yang dipimpin oleh kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil merebut ibu kota Damaskus. Konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade ini mencapai titik balik yang mengejutkan banyak pihak.
Faktor utama di balik keberhasilan ini adalah lemahnya dukungan internasional kepada Assad, terutama dari sekutunya seperti Rusia dan Iran. Serangan kilat oleh pemberontak juga diperkuat dengan minimnya motivasi di kalangan militer Suriah, yang telah lama tertekan oleh krisis ekonomi dan moral yang runtuh. Hal ini Memberikan berbagai spekulasi, termasuk dugaan keterlibatan Israel dalam momen krusial tersebut. Konflik yang berlangsung selama lebih dari satu decade ini akhirnya mencapai klimaks dengan pemberontak merebut Ibu Kota Damaskus hanya dalam waktu singkat. Adapun Langkah-langkah penting yang membawa perubahan besar di suriah:
Langkah awal pemberontak: serangan di AleppoÂ
Pemberontakan ini dimulai dari serangan kilat di Aleppo Pada 27 November, yang dengan cepat jatuh ke tangan Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Serangan ini menjadi langkah awal dalam gelombang ofensif yang dapat mengguncang pertahanan Assad. Keberhasilan ini dapat menjadi sinyal lemahnya pertahanan militer Assad, yang mulai kehilangan wilayah secara signifikan.
Perebutan kota-kota kunci: Hama dan Homs
Setelah Aleppo, pemberontak melanjutkan ekspanasi mereka menuju Hama pada 3 Desember dan di Homs pada 7 Desember, ekspanasi yang dilakukan dapat memperlihatkan lemahnya dukungan militer Assad dari sekutu-sekutunya seperti Rusia dan Iran.
Puncaknya konflik ada pada jatuhnya Damaskus
Serangan yang terjadi pada 8 Desember, bermula saat pemberontak berhasil memasuki Damaskus,menjadi puncak dari serangan HTS dan berhasil dalam mengakhiri kekuasaan keluarga Assad yang telah berlangsung lima dekade ini.
Spekulasi bantuan Israel dalam konflik
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membuat pernyataan yang kontroversial tentang jatuhnya Assad. Ia menyatakan bahwa perlakuan Israel terhadap Iran dan Hizbullah secara tidak langsung untuk membantu pemberontak merebut wilayah.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa kejatuhan Assad adalah "hari bersejarah" dan merupakan "hasil langsung dari tindakan tegas kami terhadap Hezbollah di Iran, pendukung utama Assad." Netanyahu menambahkan bahwa pasukan Israel dengan cepat menguasai posisi Suriah di dekat Damaskus untuk "memastikan tidak ada kekuatan musuh yang menanamkan diri tepat di sebelah perbatasan Israel."
Meskipun Israel tidak terlibat secara langsung dalam konflik internal Suriah, namun mereka telah melakukan serangan udara terhadap infrastruktur militer Suriah untuk mencegah senjata jatuh ke tangan ekstremis. Juru bicara militer Israel menyatakan bahwa mereka akan "melakukan apa yang diperlukan untuk melindungi perbatasan dan keamanan Israel."
Sementara itu, pemimpin HTS, Ahmed al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal dengan Abu Mohammed al-Jolani, beliau mengkritik apa yang disebutnya sebagai "petualangan militer yang tidak diperhitungkan" oleh Israel. Beliau menegaskan bahwa kelompoknya lebih tertarik pembangunan negara daripada membuat konflik baru dengan Israel.
Jatuhnya rezim Assad menimbulkan ketidakpastian dan ketidaktahuan mengenai persoalan masa depan di Suriah. Masyarakat internasional, termasuk mantan sekutu dan lawan rezim, kini mendesak adanya kesepakatan politik untuk transisi di Suriah. Dengan pelariannnya Assad ke Rusia, dapat membuka masa baru dalam sejarah Suriah, sehingga banyak pihak yang bertanya-tanya bagaimanakah masa depan Suriah yang kini berada di bawah kendali kelompok Islamis. Adapun beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, menyebut kejatuhan ini dapat dijadikan sebagai bentuk kesempatan besar untuk membangun kembali Suriah. Namun, tantangan besar juga akan tetap menghadang, terutama dalam menjaga stabilitas di tengah perubahan kekuatan politik yang sedang berlangsung.
Dengan perubahan kekuasaan ini, tentunya Israel juga lebih meningkatkan kewaspadaan di perbatasannya, mengingat potensi ancaman dari berbagai kelompok pemberontak yang kini menguasai Suriah. Netanyahu menyatakan bahwa situasi ini "menciptakan peluang yang sangat penting bagi Negara Israel, tetapi juga tidak tanpa resiko."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H