Mohon tunggu...
LULUK ISMAWATI
LULUK ISMAWATI Mohon Tunggu... -

In the name of Allah, the most merciful and the most beneficient.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Bukan Seorang Guru yang Baik

19 Desember 2014   11:22 Diperbarui: 22 Februari 2016   15:12 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Coba Ibu pikirkan baik-baik apa yang telah saya sampaikan tadi.

 

Itulah kata-kata terakhir yang disampaika kepala sekolah yang masih terngiang-ngiang di benak saya seharian itu setelah saya keluar dari ruang kepala sekolah tempat penulis mengajar.

 

Pagi itu, penulis seperti biasa berangkat ke sekolah dimana penulis mengajar dengan mengendarai sepeda motor bututnya. Karena hari itu adalah hari terakhir penilaian lomba pembuatan taman antar kelas, penulis selaku wali kelas datang lebih awal. Setelah memarkir sepeda motor di tempat parkir guru dan karyawan, penulis langsung menuju ke ruang tata usaha untuk melakukan check in dengan finger print. Setelahnya, penulis langsung menuju kelas dimana penulis sebagai wali kelasnya.

 

Setibanya di kelas, penulis melihat anak-anak sudah banyak yang hadir walaupun hari itu tidak ada kegiatan belajar mengajar. Hari itu memang dimanfaatkan untuk pelaksanaan berbagai macam lomba antar kelas. Maklum saja mendekati penerimaan rapor semester. Para pengajar sibuk mempersiapkan nilai dan rapor peserta didik. Lha penulis kok malah mengurusi anak-anak didiknya? Penulis sudah menyelesaikan tugas menyetorkan nilai ke wali kelas lain dan mencetak rapor peserta didik dari kelas dimana penulis sebagai wali kelasnya. Tinggal meminta tanda tangan kepala sekolah dan stempel sekolah saja. Penulis pikir hal itu bisa dilakukan agak siangan mengingat biasanya kepala sekolah hadir ke sekolah agak siang. Penulis langsung mengajak anak-anak untuk bekerja sama menata taman di depan kelas. Berbagai wadah daur ulang seperti botol bekas dan karung goni bekas digunakan sebagai pot tanaman. Maklum saja memang tema tamannya adalah memanfaatkan barang tidak terpakai untuk menciptakan keindahan. Selain itu juga irit dalam pembiayaan.

 

Ketika masih asyik menata taman bersama anak-anak, tiba-tiba teman sejawat penulis menghampiri penulis dengan tergesa-gesa dan panik sambil memanggil-panggil nama penulis. Sontak penulis bertanya namun dengan nada untuk menenangkan beliau, “wonten napa, bu? (ada apa, bu? – pen.)”. Sambil mengatur napas, beliau mengataka, “gawat, bu, ada kabar tidak menyenangkan. Nilai yang njenengan setor ke bu A, menjadi masalah. Nilainya banyak (B-)nya.”. Sambil tersenyum penulis menjawab dengan tenang, “Inggih, bu, memang benar, nilai anak-anak memang banyak (B-)nya. Tidak hanya di kelas itu saja kok, bu. Di kelas njenengan juga. Memangnya kenapa, bu?”. Teman sejawat penulis mengatakan bahwa nilai B- adalah nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal – nilai terendah yang harus dicapai oleh peserta didik sebagai bukti bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi dasar yang diajarkan). Penulis mencoba untuk menjelaskan bahwa untuk kurikulum 2013 tidak ada KKM, yang ada adalah nilai Ketuntasan Belajar (KB). Nilai ketuntasan belajar dalam kurikulum 2013 adalah B- (Permendikbud No. 104 Tahun 2014). Peserta didik dinyatakan tuntas atau menguasai kompetensi dasar pengetahuan dan keterampilan jika sudah mencapai nilai B- atau melampauinya. Nampaknya teman sejawat penulis paham akan penjelasan penulis dan bergegas pamit meninggalkan penulis untuk kembali bekerja bersama anak-anak.

 

Usai menyelesaikan penataan taman kelas, penulis berpamitan kepada anak-anak untuk merampungkan pengerjaan rapor. Tak lupa penulis mengingatkan anak-anak untuk senantiasa menjaga dan merawat taman yang sudah mereka miliki sekarang. Penulis langsung menuju ruang tata usaha, dimana penulis meletakkan hasil printout rapor peserta didik kelasnya. Belum sampai tangan penulis meraih hasil printout tersebut, wakil kepala sekolah urusan kurikulum langsung menghampiri penulis untuk menyampaikan bahwa kepala sekolah ingin berbicara dengan penulis dan meminta penulis untuk segera menemui kepala sekolah di ruang kepala sekolah.

 

Sesampai penulis di dalam ruang kepala sekolah, kepala sekolah mempersilahkan penulis untuk duduk dan menunggu karena beliau masih melanjutkan pembicaraan dengan teman sejawat penulis yang menjabat sebagai guru Bimbingan dan Konseling (BK). Ada beberapa item keberatan yang beliau sampaikan kepada teman sejawat penulis tersebut. Sambil mendengarkan duduk permasalahan yang mereka perbincangkan, penulis meminta izin untuk menyela pembicaraan mereka terkait dengan setoran penilaian dan catatan BK yang telah disetorkan oleh teman sejawat penulis tersebut. Bukan bermaksud membela teman sejawat, penulis hanya menyampaikan fakta di lapangan bahwa memang tidak ada masalah untuk setoran penilaian dan catatan BK yang penulis sudah terima dari teman sejawat penulis tersebut. Namun fakta yang penulis sampaikan nampaknya tidak cukup memuaskan kepala sekolah. Sehingga beliau mengajukan beberapa ketentuan yang harus dilakukan oleh teman sejawat penulis dan pengajar BK lainnya.

 

Setelah menyelesaikan perbincangan dengan teman sejawat penulis, kepala sekolah masih meminta saya menunggu untuk memberikan beberapa barang kepada pesuruh sekolah yang kebetulan juga datang menghadap beliau. Kemudian beliau membuka pembicaraan dengan penulis dengan menanyakan, “Apakah Ibu tahu kenapa Ibu saya panggil?”. Tentu saja penulis menyatakan ketidaktahuan penulis perihal undangan beliau. Penulis hanya menyampaikan bahwa wakil kepala urusan kurikulum meminta penulis untuk menghadap kepala sekolah karena kepala sekolah ingin menyampaikan suatu hal yang penulis tidak ketahui. Tidak menunggu beberapa lama waktu, kepala sekolah menjelaskan maksud beliau mengundang penulis ke ruangan beliau. Beliau juga menyampaikan beberapa hal keberatan beliau terkait kebijakan penilaian yang penulis lakukan dan alasan keberatan yang beliau sampaikan. Inti pembicaraan kami adalah kepala sekolah keberatan dengan pemberian nilai (B-) kepada para siswa yang saya ajar dengan alasan:

 

1. nilai tersebut di bawah KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah. Lebih-lebih sekolah tempat penulis mengajar adalah Sekolah Berstandar Nasional (SSN) yang standar KKMnya adalah 75.

 

2. nilai tersebut tidak bisa membantu siswa untuk memenuhi syarat mengikuti tes Penerimaan Peserta Didik Baru ke Satuan Pendidikan Peyelenggara – Sistem Kredit Semester (SPP-SKS) jenjang SMA yang mensyaratkan calon peserta tes memiliki nilai rata-rata rapor untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS masing-masing mempunyai nilai rata-rata minimal 75,00 (untuk nlai besar) dan 7,5 (untuk nilai kecil).

 

Beliau sempat meminta penulis untuk mengganti nilai yang telah penulis laporkan, namun penulis menolak tegas permintaan beliau dikarenaka penulis merasa sudah melakukan penilaian otentik dan hasilnya adalah nilai-nilai yang penulis laporkan tersebut. Dengan kebijakan beliau selaku kepala sekolah, beliau mengizinkan nilai-nilai tersebut untuk tidak usah diganti dengan catatan, beliau tidak menginginkan ada nilai (B-) lagi untuk semester selanjutnya pada penilaian yang penulis lakukan. Tidak hanya itu, beliau juga menceritakan kepada penulis tentang seorang pengajar di sekolah lain yang dimutasi dikarenakan Ibu pengajar tadi berlaku sama seperti penulis. Cerita beliau tersebut bagi penulis terdengar seperti suatu ancaman keras yakni jika penulis memberikan nilai (B-) pada semester selanjutnya, penulis akan dimutasi seperti halnya Ibu pengajar yang diceritakan oleh beliau.

 

Ketika pembicaraan berlangsung, apakah penulis tidak mengajukan alasan atau keberatan untuk membela diri? Ketika pembicaraan berlangsung, penulis mengajukan alasan penulis memberikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik yang penulis ajar. Menurut pendapat penulis, nilai (B-) yang penulis berikan kepada peserta didik yang penulis ajar adalah wajar dan sesuai dengan kemampuan peserta didik di lapangan. Selain itu, kurikulum 2013 hanya mensyaratkan peserta didik mencapai KB dengan nilai minimal B- untuk kompetesi dasar pengetahuan dan keterampilan. Hal ini berarti peserta didik telah menguasai kompetesi dasar pengetahuan dan keterampilan yang ada pada kurikulum 2013. jika dikonversikan dengan angka, nilai dengan predikat B- memiliki rentang nilai 62,7 – 71,1 (untuk nilai 1 – 100) atau 2,51 – 2,84 (untuk nilai 1 – 4). Itu pun penulis tidak memberikan nilai tidak kurang dari 67 atau 2,68 kepada para peserta didik yang penulis ajar. Dengan nilai B- itu, peserta didik mendapatkan predikat sudah baik, tapi masih perlu ditingkatkan kompetensinya.

 

Apakah semua peserta didik yang penulis ajar mendapatkan nilai B-? Jawabannya sudah dipastikan tidak. Penulis memberikan nilai berdasarkan penilaian otentik yang dilakukan penulis. Data penilaian yang penulis peroleh dari peserta didik yang penulis ajar adalah data sebenarnya yang ada di lapangan. Penulis memberikan nilai kepada peserta didik yang penulis ajar sesuai dengan kemampuan berbahasa Inggris (penulis adalah pengajar Bahasa Inggris – pen) peserta didik baik kemampuan dasar mendengar, berbicara, membaca, maupun menulis. Dan dapat dipastikan bahwa memang anak-anak dengan kemampuan lebih saja yang nantinya dapat mendaftarkan diri sebagai calon peserta tes PPDB SPP-SKS. Apakah ada peserta didik yang penulis ajar yang memenuhi persyaratan nilai rapor untuk PPDB SPP-SKS? Ada dan pasti tidak semua peserta didik. Kembali lagi, semua berdasarkan kemampuan peserta didik itu sendiri.

 

Kepala sekolah juga meminta penulis untuk melakukan remedial agar peserta didik yang penulis ajar memperoleh nilai sesuai dengan KKM yang ditetapkan oleh sekolah. Dalam hal ini penulis garis bawahi, lagi-lagi yang diungkit adalah KKM. Memang dalam Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disyaratkan KKM sebagai batasan siswa telah menguasai kompetensi yang diajarkan. Jika siswa belum mencapai KKM maka perlu dilakukan pengajaran remedial, yakni pengajaran ulang bagi peserta didik yang hasil belajarnya jelek. Jadi lagi-lagi menurut pendapat penulis, remedial hanya dilakukan jika peserta didik tidak tuntas. Nah, nilai B- yang penulis berikan kepada peserta didik yang penulis ajar berarti peserta didik itu telah tuntas belajarnya sesuai dengan ketentuan KB Kurikulum 2013. Terus kenapa harus melakukan pengajaran remedial jika peserta didik sudah berpredikat tuntas belajar?

 

Ketika lagi-lagi kepala sekolah menyinggung KKM sekolah, penulis langsung mempertanyakan apakah KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah sudah melalui analisis penentuan KKM. Dimana nilai KKM diambil dari rata-rata intake (kemampuan awal peserta didik), tingkat kesukaran materi yang diajarkan, dan sarana pendukung proses belajar mengajar (termasuk didalamnya kemampuan guru pengajar). Dalam KTSP, nilai KKM diambil dari rata-rata nilai KKM seluruh kompetensi dasar (KD – kemampuan yang harus diperoleh peserta didik melalui pembelajaran). Dari sini kita bisa memastikan bahwa nilai KKM satu KD dengan KD lainnya tentu berbeda melihat tingkat kesukaran materi yang ada pada masing-masing KD tersebut. Nilai KKM ditentukan oleh para guru pengajar tiap mata pelajaran melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sekolah (MGMPS) berdasarkan hasil analisis KKM yang dilakukan oleh para guru pegajar. Selanjutnya analisis dan nilai KKM tersebut dilaporkan kepada urusan kurikulum sekolah dan memutuskan nilai tersebut sebagai nilai KKM sekolah per mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tersebut. Kembali lagi, apakah sekolah penulis sudah menentukan KKM sekolah dengan melakukan analisis KKM? Untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, saya pastikan belum. Analisis dan penentuan KKM dilakukan di awal semester pembelajaran. Karena tidak melakukan analisis dan penentuan KKM di awal semester pembelajaran, penulis menggunakan patokan yang disyaratkan oleh Kurikulum 2013 (penulis mengajar menggunakan Kurikulum 2013 untuk kelas VII dan VIII), yakni Ketuntasan Belajar (KB) dengan predikat B- (nilai 62,7 atau 2,51). Jika penulis dan teman sejawat penulis dalam MGMPS tidak melaksanakan analisis KKM pada awal semester depan atau memang hasil analisis KKM MGMPS diperoleh predikat B-, penulis dapat memastikan bahwa akan ada lagi nilai B- pada penilaian rapor yang disetorkan oleh penulis. Dan jika ancaman kepala sekolah yang diasumsikan oleh penulis di awal penulisan tadi masih berlaku, penulis akan dengan senang hati dan bangga untuk dimutasi ke sekolah lain dikarenakan mempertahankan argumen yang menurut pendapat penulis benar dan sesuai pedoman yang berlaku.

 

Jadi, apakah ada yang salah dengan setoran nilai rapor penulis? Apakah penulis tidak becus mengajar? Apakah penulis bukan seorang guru yang baik untuk peserta didiknya? Semua pendapat adalah benar. Namun pendapat yang paling benar adalah pendapat yang didasarkan pada fakta. @r_l!_r@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun