Mohon tunggu...
Luluk NurFadilah
Luluk NurFadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember

Memiliki minat dalam bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Uni Eropa Tolak Kebijakan Indonesia Stop Ekspor Nikel

14 Maret 2023   00:24 Diperbarui: 14 Maret 2023   00:35 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdagangan internasional menjadi salah satu kegiatan penting yang dilakukan oleh suatu negara untuk meningkatkan perekonomian. Transaksi tanpa batas ini menjadi batu loncatan bagi sebuah negara untuk menjadi makmur dan sejahtera karena perdagangan internasional dapat memberikan banyak manfaat untuk kemajuan ekonomi terutama bagi negara-negara berkembang. 

Perdagangan internasional dapat terjadi sebagai akibat dari adanya keterbatasan sumber daya alam, sumber daya manusia, modal ataupun skill pada suatu negara. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut negara perlu melakukan perdagangan internasional.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Hal ini tentu akan dapat memberikan banyak manfaat dan keuntungan bagi Indonesia khususnya dari segi ekonomi. Sumber daya alam berlimpah yang dimiliki Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan yang bernilai tinggi. 

Salah satu komoditas unggulan yang memiliki nilai jual tinggi yang dimiliki Indonesia adalah nikel. Nikel menjadi komoditas unggulan bernilai tinggi karena banyak dibutuhkan oleh negara asing. Indonesia tercatat sebagai negara penyuplai nikel terbesar di dunia, sehingga terdapat banyak negara yang bergantung pada nikel Indonesia. Negara-negara tersebut diantaranya adalah Norwegia, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, China, dan negara yang berada di kawasan Uni Eropa.

Dilansir dari US Geological Survey, Indonesia memiliki jumlah cadangan nikel mencapai 72 juta ton pada Januari 2020. Dengan menjadi negara penghasil nikel terbesar di dunia, hal ini juga sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor nikel terbesar pula di dunia. Indonesia menyumbang sebanyak 27% nikel dari total keseluruhan ekspor dunia. 

Banyaknya negara yang bergantung pada hasil nikel Indonesia tentu akan berdampak pada peningkatan permintaan nikel yang berakibat pada penurunan cadangan nikel Indonesia. 

Jika penambangan nikel terus menerus dilakukan, maka diperkirakan cadangan nikel akan habis dalam enam tahun kedepan terhitung dari 2023. Untuk mencegah habisnya nikel dengan cepat pemerintah Indonesia membuat kebijakan berupa larangan ekspor pada komoditi nikel serta melakukan hilirisasi dan industrialisasi nikel.

Indonesia resmi menghentikan kegiatan ekspor komoditi nikel pada 1 Januari tahun 2020. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 tahun 2019 Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara Kebijakan ini tentunya berdampak pada negara-negara yang bergantung dengan nikel Indonesia diantaranya adalah negara kawasan Uni Eropa. Kebijakan penghentian kegiatan ekspor nikel oleh Indonesia dinilai melanggar aturan yang sudah disepakati dalam The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT). Akibatnya, Indonesia mendapat kecaman dari Uni Eropa yang kemudian berlanjut mengajukan gugatan ke World Trade Organization (WTO).

Melimpahnya sumber daya alam Indonesia khususnya pada komoditi nikel membuat banyak negara mengandalkan ekspor nikel Indonesia untuk memenuhi berbagai kegiatan produksi di negara mereka salah satunya adalah pengembangan manufaktur. 

Oleh karena itu, banyak dari negara yang menjadi mitra Indonesia dalam melakukan ekspor nikel ini merasa dirugikan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia terutama negara-negara kawasan Uni Eropa. Meskipun Indonesia telah menjelaskan alasan dibalik penghentian ekspor nikel adalah untuk menjaga ketersediaan nikel, namun bagi negara yang merasa dirugikan menganggap tindakan Indonesia merupakan pelanggaran terhadap aturan kesepakatan yang terdapat di dalam GATT.

Uni Eropa sangat mengandalkan industri pertambangan Indonesia khususnya pada komoditi nikel. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sarana prasarana, pembangunan, otomotif, serta bidang teknologinya yang menggunakan nikel sebagai bahan baku pembuatan. 

Dengan Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan ekspor nikel tentu akan dapat mengancam keberlangsungan sektor produksi Uni Eropa. Sehingga hal tersebut membuat Uni Eropa melayangkan gugatan terhadap Indonesia. Uni Eropa secara resmi menggugat Indonesia ke WTO pada tanggal 14 Januari 2021 dengan alasan bahwa dibutuhkan sebanyak 55% bijih nikel untuk bahan baku industri baja anti karat. 

Dalih Uni Eropa dalam gugatan yang dilayangkan terhadap Indonesia adalah berkaitan pada pelanggaran pasal 11 ayat 1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa negara yang menjadi anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan terkait pajak, bea, tarif serta pembatasan kuota, penjualan ekspor dan perizinan impor. Dalam gugatan tersebut, Uni Eropa yakin bahwa kebijakan yang dikeluarkan Indonesia sebagai upaya menjaga ketersediaan nikel merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan kewajiban Indonesia dalam perjanjian yang tercantum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun