"Perjodohan itu tidak ada dalam kamus hidupku. Aku ini aktivis. Aku teriak setiap hari soal penindasan. Soal memperjuangkan hak asasi. Kawan-kawan menertawakanku karena aku tidak bisa memperjuangkan masa depanku sendiri. Semua kawanku kecewa dengan perjodohan ini." (hlm. 2)
Begitulah Gus Biru, lebih menyukai aktivisnya dari pada mengurus pondok abahnya. Kesehariannya beliau mejadi seorang jurnalistik  bersama seorang gadis cantik, cerdas, dan juga memiliki aktivis sama seperti Gus Biru, Rengganis sapaannya. Rengganislah orang yang sudah mengisi sekaligus pujangga hati Gus Biru.
"Aku tak boleh tenggelam dalam nestapa sebab namaku adalah Suhita. Dewi Suhita, yang membuat Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng Gunung Lawu. Aku, yang mewarisi namanya, tak perlu membuat tempat pemujaan dan punden berundak di lereng gunung. Aku hanya harus belajar pada ketabahan Ekalaya yang ditolak dan diabaikan." (hlm. 12)
Batin Alina dalam status pernikahan yang dijodohkan. Sejak kecil ia sudah dijodohkan denagn Gus yang santrinya ratusan bahkan ribuan. Masa depan sudah ditentukan sejak kecil oleh sang orang tua. Setelah pernikahan dengan Gus Biru bukannya ia mendapatka sebuah kebahagiaan tetap justru mendapatkan kesedihan yang begitu mendalam.
"Gus, kowe ki harus menemukan perempuan pengabsah wangsa yang tepat. Sebabe kowe anak tunggal. Penerusmu wong akeh je." (hal 147) tutur Permadi sahabat Gus Biru. Sampai pada akhirnya Gus Biru mulai berfikir siapa sang pengabsah Wangsa. Apakah Rengganis yang selama ini mengisi hatinya atau Alina, wanita yang selalu ia abaikan setiap kebaikannya.
Menunggu Pengabsah Wangsa tidak bisa dipikirkan terlalu lama, karen sebuah Pesantren membutuhkan seorang tersebut. Gus Biru sadar ternyata seoarang yang dari dulu ia abaikan adalah orang yang ia cari selama ini untuk penerus Pesantren abahnya,ia Alina Suhita. Gus Biru-pun melepaskan Renganis sang pujaan hatinya dulu.
Kelebihan novel:
Novel tersebut tidak ada tokoh antagonis semua tokoh bersifat protagonis. Uniknaya  juga dalam novel Hati Suhita terdapat tokoh atau cerita pewayangan zaman dahulu yang membuat orang-orang tertarik membacanya.
Kekurangan novel:
Dalam novel tersebut ada beberapa penulisan memakai Bahasa jawa dan sepenggal kata yang memungkinkan membuat pembaca sulit memahami bagi pembaca yang tidak faham Bahasa Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H