Mohon tunggu...
Lulu  Aulya
Lulu Aulya Mohon Tunggu... Ahli Gizi - KELAS 12 MIPA 5

NEVER GIVE UP!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus yang Tak Kunjung Usai

22 November 2020   20:17 Diperbarui: 22 November 2020   20:37 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~ Lulu Aulya Nurzamzam Putri Setiawan - Absen 17  - XII MIPA 5  ~

Membuat Teks Editorial


Tema : Kasus Djoko Tjandra
Judul : Kasus yang Tak Kunjung Usai

Djoko Tjandra telah menjadi buron Kejaksaan Agung selama 11 tahun sejak tahun 2009. Setelah terjadinya putusan tahap peninjauan kembali, Mahkamah Agung menyatakan Djoko bersalah dalam korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, dan kasus tersebut diberitakan secara luas. Hingga  pada Juni 2009, hasil PK memutuskan hukuman dua tahun penjara bagi Djoko Tjandra dengan denda sebesar Rp15 juta, serta asetnya sebesar lebih dari Rp546 miliar di Bank Bali pun harus diserahkan kepada negara.  

Terpidana perkara korupsi hak tagih piutang Bank Bali  yang sempat buron itu ternyata dibantu kaki tangannya menggunakan celah yang ada untuk berusaha lepas dari jerat hukum. Yang lebih mengejutkan, yang menjadi kaki tangannya tersebut adalah orang-orang yang berpendidikan hukum bahkan memiliki jabatan yang tinggi.

Setelah melibatkan polisi, jaksa, dan pengacara, skandal Joko Tjandra kini mengarah ke Mahkamah Agung. Menunjukkan langgengnya kebobrokan sistem peradilan di negara ini. Apakah betul kekuatan uang mampu melumpuhkan sistem peradilan negara ini?

Berdasarkan fakta yang didapat, bantuan yang diberikannyapun tidak tanggung-tanggung.

Dimulai dari pembuatan E-KTP yang dianggap tidak wajar karena hanya memerlukan waktu yang singkat untuk proses pembuatannya dan bisa langsung dibawa pulang yaitu 30 menit. Padahal, biasanya masyarakat yang membuat E-KTP perlu waktu yang cukup lama bahkan bisa sampai lebih dari sebulan lamanya.

Bahkan, Djoko Tjandra terbukti mendapatkan perlakuan istimewa dari Lurah Grogol Selatan tersebut yang bernama Asep Subhan padahal dia sendiri sudah tahu bahwa orang tersebut adalah buronan. Karena hal tersebut, akhirnya Asep dicopot dari jabatannya.

Bukankan Sistem Dukcapil dan Imigrasi di Indonesia benar-benar sudah kebobolan oleh aksi buron tersebut? Setelah berhasil membuat E-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Djoko diketahui juga sukses membuat paspor.

Meski tidak menjelaskan di Kantor Imigrasi mana dia membuat paspor, Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Jhoni Ginting menjelaskan, paspor Djoko Tjandra diurus pada 22 Juni 2020 dan jadi pada 23 Juni 2020.

Tidak hanya itu, dia bahkan telah terbukti memalsukan surat surat yang menjadi persyaratan kedatangan agar bisa kembali ke Indonesia. Diantaranya surat jalan, surat keterangan kesehatan, dan surat-surat lain terkait dengan pemeriksaan COVID-19.

Surat-surat itu dibuat atas nama Brigjen Prasetijo, Anita Kolopaking, Djoko Tjandra, dan seorang anggota Polri lain bernama Jhony Andrijanto.

Yang seharusnya tugas dari seorang jaksa itu melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan, dalam kasus ini berbeda. Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima suap sebesar US$ 500 ribu atau sekitar Rp7 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Jumlah tersebut hanya uang muka dari total US$ 1 juta atau sekitar Rp14 miliar jika Pinangki mampu membuat Djoko Tjandra terlepas dari hukuman dua tahun penjara kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Dalam mengatasi hal tersebut seharusnya pemerintah bersikap lebih cepat bertidak dan tegas dalam mengambil keputusan agar membuat pelaku jera. Wajar saja bila kepercayaan masyarakat mulai memudar jika terus dibiarkan.

Dalam kasus ini sebenarnya ada dua masalah yang perlu diatasi. Pertama, masalah Djoko Tjandra itu sendiri yang seharusnya ia ditetapkan bersalah dan mendapatkan hukuman setimpal. Bisa terjerat pasal 221 Pasal 263 (KHUP) dan sebagainya.

Kedua, tindakan pada pejabat yang campur tangan. Dalam hal ini ada dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu pemberian tindakan disiplin terhadap pegawai atau pejabat pemerintah yang terbukti melakukan pelanggaran serta membawa masalah tersebut ke ranah hukum pidana dapat dikenakan pasal Obstruction of Justice atau menghalang-halangi proses hukum. Terkait kasus korupsi, pelanggar dapat dikenakan dengan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU-Tipikor).

Jika hal tersebut dilakukan, sudah pasti membuat masyarakat kembali mempercayai masih adanya keadilan dalam negeri ini.

Penulis : Lulu Aulya / 17 /  12 MIPA 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun