Melihat banyaknya kasus dan pelanggaran yang terjadi di Indonesia, menjadikan Pengadilan salah satunya jalan untuk menyelesaikan kasus secara dengan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Ini merupakan salah satu asas yang dijunjung peradilan agar masyarakat mendapatkan kemudahan yang didukung dengan sistem. Di mana tugas pokok pengadilan itu sendiri sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan dengan cara menerima, memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan sendiri menjadi pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara. Dan hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, melihat integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Maka dari itu, dalam menjaga kemartabatan hakim perlu adanya dukungan dan partisipasi dari masyarakat.
Lembaga Kekuasaan Negara di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki tiga lembaga kekuasaan negara, yaitu: lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di mana konsep ketiga lembaga ini merupakan teori yang usungkan oleh John Locke yang merupakan seorang filsuf asal Inggris yang kemudian teori ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Motesquieu dalam karyanya yang berjudul L’Esprit des Lois. Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX tentang kekuasaan kehakiman yang mengatur perihal kekuasaan merdeka dalam menyelenggarakan peradilan yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Hal tersebut merupakan tujuan dari adanya lembaga kekuasaan yudikatif di Indonesia, dengan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya seperti lingkup Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain empat lingkup peradilan yang dinaungi oleh Mahkamah Agung terdapat pula beberapa pengadilan khusus yang sifatnya tetap ataupun ad hoc. Pengadilan tersebut antara lain: Pengadilan Hak Asasi Manusia, pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Anak, Pengadilan Hubungan Kerja Industrial, dan lainnya.
Selain Mahkamah Agung yang masuk dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia, terdapat dua lembaga lainnya yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Di mana Mahkamah Konstitusi ini berwenang dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain empat kewenangan ini, Mahkamah Konstitusi memiliki satu kewajiban yaitu wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Contohnya seperti perbuatan melanggar hukum pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya ataupun tindakan-tindakan tercela (Mahkamah Konstitusi RI).
Selanjutnya lembaga kekuasaan yudikatif di Indonesia yang terakhir adalah Komisi Yudisial. Di mana Komisi Yudisial sendiri mempunyai empat wewenang, yaitu: mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung, dan menjaga serta menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (Komisi Yudisial RI, 2020).
Pada wewenang Komisi Yudisial yang kedua ini sempat menyinggung adanya bentuk pelaksanaan menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Yang pada dasarnya hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim (Komisi Yudisial RI, 2013). Di mana dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (PMKH) merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, serta menghina hakim dan pengadilan.
Peranan Masyarakat Dalam Mencegah Adanya PMKH
Hukum merupakan sesuatu yang tidak mungkin berada di ruang kedap air, melainkan hukum berupaya beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Di mana dalam pengadaptasian tersebut, diperlukanlah peran seorang hakim dalam melakukan perubahan dengan cara menginterpretasikan hukum. Maka konsep hukum, masyarakat, pengadilan, dan hakim tidak bisa berdiri sendiri. Dikarenakan hubungan tersebut bersifat dinamis dengan adanya perubahan yang terjadi pada satu aspek yang mempengaruhi aspek lainnya (Komisi Yudisial RI, 2017: 3-4).
Maka dari itu hakim digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas, tidak akan menengok ke kanan atau ke kiri ataupun bermain mata dengan salah satu pihak yang beperkara. Hakim biasa disebut dengan wakil tuhan yang ada di bumi menafsirkan bahwa  kekuasaan seorang hakim dapat menentukan nasib seorang ke depannya, dengan cara mengadili pihak yang benar dan salah. Padahal yang perlu kita ketahui bahwa hakim juga merupakan produk dari masyarakat, yang mana berdampak pada cara hakim merespon berbagai perkara yang harus diputuskannya. Jadi, hakim sendiri merupakan manusia biasa yang secara psikologis di satu sisi memiliki perasaan takut, berani, tergoda untuk berbuat khilaf, dan sebagainya. Dan di sisi lain, hakim juga menjadi makhluk sosial yang memiliki rasa ingin bertanggung jawab dan jujur dalam putusan-putusannya (Komisi Yudisial RI, 2017: 11).
Dari penjelasan di atas yang menyatakan bahwa hakim juga merupakan bagian dari masyarakat yang perlu dimengerti oleh masyarakat itu sendiri, dan dijaga kehormatan dan keluhuran martabatnya oleh masyarakat. Walaupun pada umumnya masyarakat sendiri masih belum begitu paham terkait adanya perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim atau biasanya disingkat dengan PMKH. Apalagi pada kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang pada dasarnya tingkat pendidikan mereka tidak mempelajari adanya larangan dalam perbuatan tersebut.
Dengan tidak mengancam kehormatan hakim seperti tidak melakukan penyerangan terhadap hakim dan mengganggu jalannya persidangan seperti berbicara dengan berteriak kepada hakim saat sidang. Maka di sini masyarakat sudah memiliki peran yang besar dalam menjaga Perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Dan perlu juga di ketahui oleh masyarakat bahwa dalam menjaga integritas hakim dapat dilakukan dengan kampanye edukasi dan sosialisasi yang dapat menyampaikan informasi terkait peran dan fungsi hakim dalam sistem peradilan.
Kasus PMKH pernah terjadi di Pengadilan Agama Lumajang pada tanggal 21 November 2022. Di mana kasus tersebut terjadi dikarenakan pihak tergugat tidak menerima Keputusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis dan pihak tergugat tersebut pun tersulut oleh amarah yang mendalam hingga membuat keributan di dalam persidangan dengan melemparkan kursi ke arah Majelis Hakim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H