Luka seharian ini dan luka yang menumpuk di hari-hari lalu, kusimpan di bawah bantal.
Kupadamkan lampu kamar agar tak kulihat luka-luka itu menyembul dari balik bantalku.
Kunyalakan lilin-lilin wangi agar aroma sedih tak menyentuhku dadaku.
Aku memejamkan mataku dan seperti biasanya, aku mulai memafkan kesalahan-kesalahan orang padaku.
Aku seperti seorang ahli namun selalu amatir dalam memaafkan diriku sendiri.
Banyak hal begitu rumit dan sakit
Masa lalu yang belum selesai termaafkan
Hari-hari yang selalu saja lelah meski tak banyak melakukan apa-apa
Dan mimpi-mimpi di masa depan yang sekarang entah bagaimana rupanya.
Kepalaku sudah serupa stasiun kereta api
Orang-orang datang dan pergi lengkap dengan koper dan tas besar.
Semua berisikan potongan-potongan kenangan
Juga berbagai macam cemas yang dikemas rapi dalam tas.
Bumi begitu ramai, kepalaku juga tak kalah riuh
Tapi aku masih saja mengurung diri di lorong panjang
Bermain-main bersama gema dari suaraku sendiri
Aku masih dengan baik mengasuh kesepian
Ah.. Jangankan tidur nyenyak, mencoba terlelap saja aku harus berusaha keras.
Belum lagi mimpi buruk yang tidak hanya sekali dua kali datang
Bahkan mimpi indah pedih sekali rasanya
Mengejekku yang sangat riang di bawah kepalsuannya
"Segalanya usai dengan berteman dan memaafkan. Hari ini menangis lagi pun tak apa"
Kata satu titik kecil, entah dari dalam sudut diriku yang mana.
Tapi yang berat adalah memaafkan diri sendiri bukan?
Aku tak ingin dibilang rentan dan aku benci menangis meski terus-terusan demikian.
Beginilah aku akhirnya terlelap setelah lelah dengan ritual perselisihan antara titik-titik dalam diriku yang sulit sekali menemukan kata sepakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H