"Contoh Perilaku" tersebut langsung dipraktikan secara tunai oleh para oknum suporter di GBLA minggu lalu, tentunya dengan tingkat kekerasan yang lebih sadis.
Beralih ke aparat keamanan. Pihak Kepolisian sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang 100% gagal dalam perpolisian di dunia sepakbola Nasional. Berhasilnya pengamanan final Piala Presiden 2015 dan final Piala Bhayangkara 2016 dimana suporter Persib bisa aman masuk Jakarta, basis suporter Persija.Â
Bahkan pada final Piala Bhayangkara 2016 suporter Persib dan suporter Arema, 2 klub dengan basis suporter besar dan dengan hubungan kurang akur, bisa bersanding 1 stadion tanpa adanya bentrokan. Itu semua tentu bukan karena cara pengamanan yang konvensional, melainkan menggunakan cara-cara pengamanan yang modern seperti patroli cyber.
Bahkan video kekerasan terhadap korban masih sempat disebarkan melalui media sosial. Meski tertangkapnya para pelaku pengeroyokan juga tidak lepas dari peran teknologi cyber, namun sulit untuk mengatakan aparat keamanan tidak kecolongan kemarin.
Suporter dan Kontrol Sosial
Sama seperti entitas lain, dalam suporter sendiri sebenarnya ada nilai-nilai yang berlaku, baik positif maupun negatif.Â
Sutherland dalam bukunya Principle of Criminology, berpendapat bahwa perilaku kriminal adalah perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Maka suporter sebagai suatu kelompok tentu menciptakan suatu interaksi bagi anggota kelompoknya.Â
Pembelajaran yang didapat seorang suporter dari kelompoknya tidak hanya sekedar terbatas pada nilai-nilai mendukung tim secara baik, namun juga termasuk pembelajaran terkait perilaku menyimpang. Diantaranya tentang konsep siapa kelompok suporter yang dianggap lawan dan siapa suporter yang dianggap kawan.
Selain sisi di atas, suporter memiliki ikatan sosial yang kuat didalam masing-masing kelompok suporter tersebut. Hal ini terlihat dari solidaritas yang terjadi jika salah satu anggota kelompok mereka mendapat perlakuan tertentu. Ikatan sosial sendiri dikelompokkan oleh Travis Hirschy menjadi 4 tipe yakni attachment, komitmen, keterlibatan, dan kepercayaan (Thompson, 1991).Â
Semakin besar ikatan terhadap ikatan sosial, maka semakin kecil seorang anggota kelompok (suporter) untuk melakukan penyimpangan. Dalam tingkat fanatisme, suporter Persib, seperti juga suporter Persija, Arema, dan Persebaya, memiliki tingkat fanatisme yang tinggi, maka bentuk keterikatan mereka terhadap identitas sebagai suporter pun tinggi.