Korban kericuhan antar suporter sepakbola nasional kembali jatuh.
Kali ini seorang Jakmania (suporter Persija) tewas dikeroyok, diduga oleh oknum suporter Persib Bandung. Dari video yang beredar terlihat korban tidak berdaya menghadapi puluhan bahkan ratusan orang di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), minggu 23 September lalu. Dimana di hari yang sama digelar pertandingan El Clasico Indonesia, Persib Bandung vs Persija Jakarta.
Atas kejadian tersebut, aparat Polrestabes Bandung menahan beberapa pelaku yang terekam dalam video kemarin.
Regulator yang Tak Mau Belajar
Namun sesungguhnya kejadian tersebut tidak akan terjadi jika regulator, baik federasi hingga aparat keamanan, mau belajar. Karena kejadian tersebut bukanlah peristiwa pertama, terutama jika yang bertanding tim dengan rivalitas tinggi seperti Persib-Persija, Arema-Persebaya, ataupun duel 3 tim di Jogjakarta.
Federasi, sebagai pihak yang memiliki otoritas luas dalam sepak bola seakan abai dengan para suporter. Setelah bertahun-tahun masyarakat sepak bola nasional disuguhi dengan "perang" antar pengurus, terutama saat dualisme, yang tentunya menjadi sosialisasi nilai-nilai negatif bagi masyarakat sepak bola nasional, termasuk suporter.Â
Bukan hanya perang di tingkat pengurus federasi nasional, namun juga pengurus sepak bola di tingkat klub atau asosiasi daerah. Itu baru soal dualisme, belum lagi soal Ketua Umum yang menjadi terpidana, tentunya turut pula menjadi pesan negatif untuk masyarakat sepakbola nasional.
Suporter pun seakan hanya menjadi alat para pengurus tersebut, baik secara ekonomi hingga politik. Secara ekonomi, suporter hanya dilihat sebagai sapi perah klub melalui tiket tanpa imbal balik berupa pengarahan bagaimana menjadi suporter yang baik.Â
Secara Politik, suporter pun seringkali menjadi alat para pengurus klub atau federasi mendulang dukungan politik. Suporter Persik Kediri, dan yang terbaru Sriwijaya FC, tentu sangat paham bagaimana fanatisme mereka hanya menjadi alat pengurus mencari dukungan.Â
Jangankan jika pengurus tersebut kalah, jika pengurus menang pun belum tentu para suporter mendapatkan nilai positif untuk menunjang mereka menjadi suporter yang santun dan beradab.
Revolusi PSSI, baik jilid 1 saat era PSSI vs KPSI maupun jilid 2 pasca sanksi FIFA yang tadinya diharapkan bisa menjadi momentum perbaikan sepak bola nasional pun mentah, Ketua Umum terpilih ternyata malah terus mencari jabatan lain. Alih-alih mendapatkan teladan positif, suporter minggu lalu justru mendapat teladan negatif ketika sang Ketua melakukan kekerasan terhadap suporter PSMS, klub dimana dirinya juga menjadi pemimpin daerah.