Sangat penting juga bagi para pemimpin kelompok suporter untuk melakukan kontrol terhadap kelompok mereka sendiri, termasuk menertibkan jika ada peluang terjadinya perilaku kriminal dalam kelompok suporter mereka. Eck dan Madensen (2008) menyampaikan bentuk umum kerusuhan suporter sepakbola, yakni Verbal (Nyanyian ejekan, hujatan, sorakan), Gesturing (Isyarat melalui tindakan gerak tubuh yang mengancam), Missile Throws (Pelemparan batu, botol atau benda keras lain kearah lapangan atau suporter lawan), Swarming (Penerobosan pintu masuk secara paksa), Property Destruction (Perusakan fasilitas stadion dan failitas umum lain), dan Physical (Kekerasan fisik, bisa berupa bentrokan fisik).
Jika Pelemparan, penerobosan, dan perusakan fasilitas umum bisa dicegah oleh pihak kepolisian baik secara preventif maupun represif, maka pencegahan kerusuhan verbal, gesturing, dan kerusuhan fisik membutuhkan peran besar dari pemimpin kelompok suporter maupun individu suporter itu sendiri. Kerusuhan Verbal sangat bisa dikendalikan oleh masing-masing dirijen (pemimpin tarian dan nyanyian suporter), yakni menghindari lagu yang mengejek suporter lain sehingga tidak memantik kerusuhan fisik maupun perilaku kriminal lain. Pun demikian dengan gesturing yang bisa dihindari dengan tidak memberikan provokasi isyarat kepada kelompok suporter lain. Jika pemimpin maupun dirijen suporter bisa menghindari terjadinya kerusuhan verbal dan gesturing, maka sangat kecil kemungkinan kerusuhan fisik terjadi. Tidak kalah penting kendali dari pemimpin suporter maupun individu suporter untuk pemanfaatan media sosial sehingga tidak terjadi pula ejekan melalui media sosial yang tentunya bisa membuat suasana menjadi tidak kondusif.
Fasilitasi keamanan yang diberikan kepolisian, seperti pengawalan, harus dimanfaatkan sekaligus ditaati oleh kelompok suporter, utamanya suporter tamu. Suporter tamu, Viking, Aremania, dan suporter Sriwijaya FC maupun Mitra Kukar diharapkan tertib dalam rombongan yang sudah ditentukan baik oleh internal suporter maupun dari kepolisian. Arahan dari aparat keamanan juga wajib ditaati suporter tamu, Jakmania, yang meski klubnya tidak bertanding namun menjadi “tuan rumah” di Jakarta. Jakmania harus membuktikan bahwa keberadaan mereka bukan membuat Jakarta menjadi tidak aman, melainkan kehadiran mereka turut berperan dalam menciptakan Jakarta yang kondusif.
Jika suporter mau, dan sukses, mengamankan berlangsungnya final Piala Presiden, maka ini akan menjadi preseden baik bagi sepakbola nasional yang saat ini sedang mati suri. Meski secara historis memiliki sejarah permusuhan, namun setiap kelompok suporter lokal memiliki harapan yang sama: menyaksikan kompetisi/pertandingan sepakbola nasional lagi. Piala Presiden sendiri sejatinya merupakan ajang pengisi kegiatan sepakbola di saat federasi sepakbola (PSSI) sedang dibekukan oleh pemerintah dan FIFA. Berlangsungnya final dengan damai, menjadi indikator pula bagi Kemenpora maupun FIFA untuk mencabut sanksi pembekuan sepakbola nasional. Maka final Piala Presiden menjadi momentum untuk bangkitnya persepakbolaan ke arah yang lebih baik, termasuk dalam hal perilaku suporter. Semoga
Andreas Lucky Lukwira
Pemerhati Suporter Sepakbola
Mahasiswa Pasca Sarjana Kriminologi UI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H