Mohon tunggu...
Lukman Karnendi
Lukman Karnendi Mohon Tunggu... Konsultan - Social Educator

Jika ada yang harus saya kerjakan, akan segera saya selesaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelusuri Kearifan Lokal Budaya Tanah Liat Jatiwangi Sebagai Pembelajaran IPS

10 September 2019   18:05 Diperbarui: 10 September 2019   18:07 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : jatiwangi art factory

Latar Belakang dan Perkembangan 

Mengingat kurang lebih satu tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menegah Akhir  (SMA), pada saat itu saya sekolah di SMA Negeri 1 Jatiwangi Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka. 

Dengan berbagai pernyataan warga di Jatiwangi bahwa mereka memang banyak sekali yang memproduksi Genteng yang terbuk bila kita menelusuri daerah-daerah di Jatiwangi khususnya Desa Burujul akan banyak kita jumpai Jebor-jebor yakni tempat pembuatan Genteng, karena daerahnya yang memiliki iklim yang cukup panas apalagi pada saat musim kemarau yang panjang sehingga sangat berpotensi untuk bisa mengembangkan pembuatan Genteng. 

Produktifitas pembuatan Genteng di Jatiwangi sangatlah berkualitas sehingga mungkin saja masyarakat didaerah-daerah terdekatnya seperti Cirebon, Sumedang, Bandung, dan sekitarnya mengakui akan daerahnya sebagai daerah yang memproduksi banyak Genteng yang dinilai cukup bagus.

Secara Historis, masyarakat di Jatiwangi khususnya di Desa Burujul memang terus berusaha mengembangkan produksi genteng dari masa ke masa hingga saat ini yang masih eksis memproduksinya. Pada tahun 1962 salah satu dari Pengusaha genteng pernah di datangi oleh pendiri sekaligus mantan wakil presiden pertama RI, yaitu Bapak Muhammad Hatta. 

Bapak Muhammad Hatta mengunjungi salah satu pabrik genteng yang dikelola oleh Bapak Harsa,Bapak Hasra Memandu beliu berkeliling melihat suasana dan cara pembuatan genteng dan pada waktu sesi istirahat Bapak Muhammad Hatta dihidangkan air kelapa muda (dawegan=bhs.sunda) yang diambil langsung dari pohon bapak Harsa.

Pada tahun 1977 seiring bergulirnya waktu pada masa orde baru yang dipimpin oleh bapak Soeharto yang dalam programnya, yaitu PELITA. Sebagian masyarakat yang dulunya mengolah genteng secara tradisonal lalu merubahnya menjadi mesin, mungkin saja faktor program pembangunan mempengaruhi desa tersebut, karena disamping lebih cepat serta lebih ringan dalam pengolahan genteng yang dilakukan para pekerja. 

Sekitar pada tahun 1980 sampai tahun 2000 masyarakat yang mempunyai modal mulai membuka usaha sendiri-sendiri (individual), dikarenakan masyarakat mulai tertarik untuk merintis usahanya dan kebanyakan para pengusaha itu sendiri hanya berpendidikan SMA/SMEA ke bawah.

Dengan melihat perkembangan produksi Genteng di Jatiwangi tentu bisa melahirkan berbagai potensi yang lahir dari kegiatan produksi mengolah bahan baku menjadi Genteng itu sendiri. 

Yakni munculah saat ini perkembangan yang luar biasa dari bahan baku tanah liat ini yang memproduksi bukan hanya Genteng melainkan memproduksi berbagai macam alat musik yang terbuat dari tanah liat. 

Kenapa bisa demikian ? ternyata berkembangnya produksi dari bahan baku tanah liat menjadi alat musik ini di Latarbelakangi oleh organisasi Jatiwangi Art Factory (JAF).

 JAF merupakan organisasi nirlaba yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal pedesaan melalui kegiatan seni budaya seperti festival, pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio dan pendidikan. JAF didirikan pada 27 September 2005.  

Melalui organisasi JAF inilah banyak menciptakan inovasi-inovasi baru dalam produksi bahan baku tanah liat menjadi alat-alat musik. Bahkan Sejak tahun 2008 JAF bekerja sama dengan pemerintahan Desa Jatisura melakukan riset dan penelitian dengan menggunakan keterlibatan kesenian kontemporer yang kolaboratif. 

Alat musik keramik sebagai gagasan penciptaannya antara lain yang menjadi bahan penelitian yakni terdiri dari sadatana, ocarina dan alat musik genteng. Ketiga jenis alat musik tersebut memiliki desain bentuk serta fungsi yang berbeda. Sadatana adalah alat musik pukul yang bentuknya mirip kendi/gerabah tapi dengan modifikasi bentuk desain yang lebih unik dan memiliki nilai estetis tersendiri, berbeda dengan Ocarina yang merupakan jenis alat musik tiup dengan bentuk desain kecil. 

Selanjutnya oleh banyaknya ketersediaan keramik yang telah dibuat dalam bentuk genteng, maka pekriya mengembangkan kreativitasnya mengolah kembali bentuk genteng untuk dijadikan sebuah karya keramik yang tidak kalah kualitas fungsinya sebagai genteng, dibuatlah alat musik tanah yang dipukul seperti Sadatana. Selain dari ketiga jenis alat musik di atas pekriya mengembangkan membuat alat musik pengiring lainnya seperti biola dan gitar berbahankan keramik.

Dari adanya perkembangan produksi tersebut sangat penting bagi kita, karena hal tersebut bisa menjadi salah satu penguat kebudayaan didalam kearifan lokal. Dimana dengan adanya globalisasi dan modernisasi terkadang masyarakat terjerumus kedalam pengaruhnya.

Urgensi Sebagai Pembelajaran IPS

  • Memahami Urgensi Kearifan lokal
  • Dimana Kearifan lokal secara epistemologi terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan dan lokal (local) berarti setempat. Local wisdom dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
  • Adapun ciri-ciri kearifan lokal menurut Ayat Rohaedi (1986 hlm 42) adalah, "mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengin-tegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya". Kearifan lokal merupakan pengeta-huan yang secara eksplisit muncul dari periode panjang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat dijadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendominasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban (Widyanti, 2015).
  • Pewarisan Nilai-nilai Budaya yang Positif
  • Pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat dari generasi ke generasi merupakan hal yang sangat penting untuk tetap menghadirkan nilai-nilai budaya yang positif dan untuk mencegah hal-hal negatif yang disebabkan oleh arus globalisasi dewasa ini. Implementasi atau penerapan nilai-nilai kearifan lokal suatu masyarakat dalam pembelajaran IPS menjadi bagian yang dapat merubah paradigma belajar IPS yang dinilai membosankan, monoton, menjadi pembelajaran menyenangkan dan bermakna. Selain itu, pembelajaran IPS yang bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal diharapkan mampu memberikan wawasan dan pencerahan bagi peserta didik untuk memacu kreatifitas mereka dalam menghadapi masa depan yang akan menuntut mereka untuk dapat berkompetisi atau bersaing dengan masya-rakat lain dalam era globalisasi (Widyanti, 2015).

Referensi :

http://koalisiseni.or.id/program/penggalanganpengelolaansumberdaya/pemetaankesenian/hasil-pemetaan/jatiwangi-art-factory/

Widyanti, T. (2015). Penerapan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 24(2).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun