Suatu hari, di tengah cuaca mendung, saya menerima pesan WhatsApp berupa apresiasi atas tulisan saya. Ketika adanya sebuah apresiasi, saya hanya bersyukur bahwa masih ada pembaca setia tulisan-tulisan saya.
Selain apresiasi, saya juga mendapat pesan WhatsApp berupa teguran. Teguran itu lahir dari ketidaksepakatan mereka terhadap isi tulisan saya. Saya hanya mengatakan kepada mereka, "Kalau gak sepakat, buat saja tulisan untuk membantah tulisan itu. Itu tradisi intelektual."
Saat ini, saya sudah tiga tahun lebih di Jambi. Saya pernah kuliah di dua kampus. Sampai saat ini, saya belum bisa menyelesaikan tugas akademik tersebut.
Begini, saya hanya ingin menceritakan bagaimana saya bisa berkontribusi untuk dunia akademik di kampus-kampus yang ada di Jambi.
Begini ceritanya, saya mendirikan Perpus Rakyat pada tahun 2017 yang lalu. Saat ini, sudah ada dua mahasiswi UIN Jambi yang ingin melakukan penelitian di Perpus Rakyat. Satunya tidak jadi, satunya lagi sedang berlangsung.
Kemudian, kekasih saya, sedang melakukan penelitian mengenai Undang-undang tentang Perpustakaan Desa. Itu juga hasil rekomendasi saya padanya. Ternyata diterima judulnya, padahal kawan-kawan seangkatannya baru sedikit yang diterima. Belum sampai 5 orang ketika itu.
Dan yang terakhir tentang mahasiswa Ekonomi Universitas Jambi yang sedang ingin melakukan penelitian untuk skripsinya. Ia bercerita dan menanyakan kepada saya mengenai apa saja yang bagus untuk permasalahan yang akan ia angkat. Rupanya, dia barusan saja membaca tulisan saya tentang kebudayaan dan pariwisata. Dia meminta solusi kepada saya. Saya ceritakan saja sesuai dengan pengetahuan yang saya miliki.
Eh, bukan hanya itu saja. Ketika mahasiswa/i Universitas Jambi melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, mereka memerlukan bantuan buku untuk masyarakat desa itu. Mereka menanyakan pada saya apakah bisa bantu sumbangan buku untuk mereka.
Saya sedih ketika itu. Pertama, masih banyak desa yang belum memiliki perpustakaan desa. Kedua, kampus tidak menyediakan bantuan buku untuk mahasiswa KKN. Wah, parah sekali ya. Begitulah kenyataannya. Kampus tidak tahu kebutuhan masyarakat. KKN hanya dijadikan obyek laporan untuk pengeluaran uang saja.
Saya berikan saja buku anak-anak yang ada di Perpus Rakyat. Ada puluhan ketika itu. Satu kotak kardus air mineral.
Dari cerita di atas, saya ingin menyampaikan bahwa, semua karya yang Anda lahirkan akan bermanfaat untuk orang banyak. Bukan hanya pada masyarakat sekitar, tetapi di dunia kampus juga.
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Indonesia Maju mengatakan, "Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja ...."
Pak Jokowi juga mengatakan hal seperti itu, "Semua negara sekarang ini persaingannya ada di situ. Bukan ijazahmu apa. Bukan adu ijazah, bukan. Adu keterampilan. Adu skill. Adu kompetensi."
Saya sangat sepakat dengan pernyataan Mas Nadiem dan Pak Jokowi tersebut. Sialnya, pernyataan itu hanya sebatas retorika saja. Saat ini, kita masih menyaksikan banyak perusahaan atau pemberi kerja yang membuat syarat harus lulus S-1 tanpa melihat skill pelamar tersebut.
***
Begitulah kondisi kita saat ini, semua hal tergantung cara berpikir dan pengetahuan yang kita miliki. Ini yang perlu digarisbawahi, pengetahuan dan skill.
Jika tidak suka membaca buku, maka sudah tentu akan ditinggal peradaban. Jika tidak mengasah skill, maka sudah tentu akan ditinggalkan penghasilan.
Di tengah bonus demografi yang puncaknya pada tahun 2045 ini, kita memiliki tantangan. Apakah itu akan dikatakan sebagai bonus atau musibah demografi? Jawabannya tergantung dengan pengetahuan dan skill yang kita miliki.
Saya melihat banyak orang yang tidak memiliki gelar akademik mempunyai kontribusi besar pada Indonesia. Mereka melahirkan karya-karya bagus. Bahkan, mereka mengabdikan dirinya pada dunia yang ia geluti.
Parahnya, para koruptor lebih banyak memiliki gelar akademik. Pengetahuan mereka digunakan untuk membodohi dan menyengsarakan rakyat.
Masyarakat yang berada di perdesaan hidup melarat diakibatkan mereka. Ilmunya digunakan untuk membodohi masyarakat. Bukannya membantu masyarakat.
Kampus yang seharusnya lebih peka dengan keadaan masyarakat, mereka lebih asyik hidup di bangku perkuliahan tanpa memikirkan masalah masyarakat.
Ada benarnya yang dikatakan beberapa pakar pendidikan. Bahwa, kurikulum sekolah dan kampus kita perlu dibenahi. Siswa dan mahasiswa seharusnya jangan dijauhkan dari persoalan masyarakat sekitar. Mereka harus didekatkan dengan masalah-masalah masyarakat.
Atur sistem yang tidak membelenggu. Jika ada siswa atau mahasiswa yang memiliki kemampuan tertentu, biarkan mereka mengembangkan dan mendalaminya. Jangan dipaksa mempelajari pelajaran lain yang tidak ia sukai.
Pada akhirnya, kita hanya berharap atas apa yang Anda baca hari ini. Atas apa yang anda asah hari ini. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H