Motivasi Pendidikan dari
Tukang Pijat Buta Huruf
Sehat sangat berharga bagi penulis, disamping olah raga, istirahat yang cukup dan makan bergizi. Kadang dalam menuju sehat pula yang dilakukan penulis salah satunya dengan memanfaatkan jasa tukang pijet.
Semisal saja ketika badan terasa capai dan kurang sehat, penulis sering memanfaatkan jasa  tukang pijat dengan cara memanggilnya untuk datang kerumah.
Kemarin siang jum'at (10/11/2023) penulis datang kerumah tukang pijat untuk kerumah penulis. Kebutulan penulis di rumah Randusanga Brebes, memiliki langganan tukang pijat, yang dengan setia mau datang kerumah ketika jasanya dibutuhkan.Â
Namun  sekarang ini, kalau kerumah penulis harus dihantarkan oleh anak atau cucunya, karena matanya sudah tidak normal, penglihatannya sering hilang dan samar, tidak seperti saat muda dulu.Â
Menurut dokter, kata tukang pijet "Terkena katarak dan harus dioperasi." Namun karena terkendala dana, sehingga sampai hari ini belum bisa dioperasi.
Hidup pas-pasan, menjanda puluhan tahun, ditambah keluarga anaknya juga kurang mapan, sepertinya sangat tidak mungkin untuk bisa operasi mata. Hanya menanti pertolongan Tuhan saja, untuk mendapatkan operasi mata gratis.
Melihat kondisi yang serba kekurangan, pendidikan yang rendah tidak tamat Sekokah Dasar (SD), rumah yang sangat dan sangat sederhana serta usia yang hampir memasuki 70 tahun. Namun dibalik itu semua ada hal yang menurut penulis sangat luar biasa dalam dialog saat datang kerumah tukang pijat, antara tukang pijat dan cucunya yang baru kelas 3 SD.
Walaupun tidak bisa membaca, tukang pijat langanan penulis, kalau cucunya pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan "Ada PR" atau "PR nya sudah dikerjakan, kalau belum, hayo kerjakan." Mendengar kalimat tersebut, penulis sangat ta'jub. Seorang nenek yang tidak bisa membaca dan menulis menanyakan PR pada cucunya setelah pulang sekolah.
Kalimat diatas seolah-olah penulis  diingatkan, bahwa belajar dapat berasal dari siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Tidak melihat status pendidikan dan ekonomi, muda maupun tua.
Riwayat belajar penulis  disamping berada dalam dunia perkuliahan, pengajian, seminar, teman seprofesi dan di dunia kerja. Namun kali ini harus belajar pada tukang pijat yang buta huruf.
Menyuruh mengerjakan PR pada anak cucunya, padahal dia sendiri tidak bisa membaca dan menulis.Â
Penulis yang berprofesi sebagai pendidik tidak selalu menanyakan PR pada anaknya.
Sepertinya penulis mendapatkan tamparan yang keras dari tukang pijat yang tidak bisa membaca dan menulis tapi dengan setia menanyakan PR pada cucunya, setelah pulang sekolah.
Kadang  juga belajar tidak harus berada ditempat tertentu. Seperti yang terjadi pada penulis, belajar saat memanggil tukang pijat untuk datang kerumah.
Mari kita sambut anak-anak kita setelah pulang sekolah dengan sapaan, ada PR hari ini?, jangan kalah yaah, dengan tukang pijat yang buta hurup dan diingatkan juga "Sudah sholat belum." Wassalam.
Lukmanrandusanga (11/11/2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H