Mohon tunggu...
lukmanbbs
lukmanbbs Mohon Tunggu... Guru - lukmanbrebes

Ngaji pikir dan dzikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Nyai Liah Buntet Membimbing Santri Tanpa Mengenal Lelah

25 Juli 2022   20:29 Diperbarui: 25 Juli 2022   20:41 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ibu Nyai Liah Buntet Membimbing Santri Tanpa Mengenal Lelah

Bahagia dalam kacamata penulis itu sederhana. Salah satunya bisa bertemu dengan sosok motivator sejati dan ikhlas  membimbing penulis dalam menggapai keberkahan hidup.

Pertemuan yang tidak sengaja dan direncanakan di acara pernikahan adik sepupu menjadi jalan dipertemukannya antara aku dan keluargaku bersama Ibu Nyaiku serta keluarga beliau.

Penulis dan keluarga bersama mempelai anak pamanku Muhammad Izuddin Abil Fida. Sumber: Dok. Pri.
Penulis dan keluarga bersama mempelai anak pamanku Muhammad Izuddin Abil Fida. Sumber: Dok. Pri.

Dirumah pamanku Astanalanggar Losari Cirebon. Minggu (24/7/2022),  pamanku sebagai tuan rumah ikut merasakan kebahagiaan atas berkenan Ibu Nyaiku menghadiri pernikahan anaknya.

Kebetulan pamanku yang sedang mempunyai hajat, sering silaturahmi dengan Ibu Nyaiku di Pondok Buntet Pesantren dari dulu hingga sekarang.

Permohonan doa, terucap dari pamanku untuk kebahagiaan kedua mempelai tercintai. Agar menjadi keluarga yang bahagia, nyaman, saling asah asih asuh, mencintai dan cepat mendapatkan keturunan.

Pertemuan yang menjadi catatan khusus dan kebahagiaan bagi penulis. Bersama Ibu Nyai Buntet Pesantren Cirebon, menjadi hari yang sangat sulit untuk dilupakan.

Beliau adalah motivator spiritual ruhiyah, psikolog handal dan tauladan hidup bagi penulis. Membawa kenyamanan dan ketenangan ketika bertemu dengan beliau.

Beliau adalah guru sepanjang hanyat penulis, yang selalu dinanti doa restunya, nasehat dan spirit-spirit kehidupan, dalam keistiqomahan menjalankan ibadah kepada Allah SWT.

Pancaran sinar wajahnya dari seorang yang senantiasa tak bosan-bosan menasehatiku sejak pertama mengenal beliau di usia sekolah MTs, hingga kini sampai semua anakku kuliah. Laksana embun penyejuk penulis di kala kehausan.

Selama menjadi santri beliau, walaupun umurnya singkat karena  penulis melanjutkan sekolah di Pekalongan, banyak keteladanan yang diajarkan. Tiga tahun hidup bersama menjadi pembelajaran hidup yang sangat luar biasa. Beliaulah yang selalu mengingatkanku ketika penulis salah dalam membaca Al-Quran.

Nasehat-nasehat yang beliau berikan, kini sangat terasa ketika penulis dewasa.  Mungkin kalau tidak ada nasehat dan bimbingan beliau, penulis tidak seperti sekarang, menjadi orang yang senang menuntut ilmu dan mengutamakan pendidikan.

Usia Ibu Nyai yang sudah tidak muda, membuat beliau ketika berjalan harus dipapah anak-anaknya. Namun tetap semangat bersilaturahmi dan menghadiri hajat para santrinya.

Beliau selalu menyempatkan hadir dan terlihat memancarkan kebahagiaan,  seolah-seolah tidak ada penyakit tua yang dideritanya.

Bisa menatap wajah beliau yang menyejukkan dan duduk disampingnya bagi penulis memberikan rasa nyaman dan bahagia, apalagi  mengingat akan jasa-jasa  beliau dalam membimbing penulis.

Kehangatan komunikasi bersama beliau, dari rumah paman pada diri penulis terbawa sampai pulang berada di rumah, dan sangat terasa energi kebahagiaan yang bertahan cukup lama.

Pertemuan mengingatku kembali saat menjadi santri beliau. Sosok Ibu Nyai yang menyuruhku untuk kuliah.  Dan aku masih ingat pesan-pesan beliau kepada diri penulis.

"Luk, sirah kudu sekolah" (Indonesia: Luk, kamu harus sekolah) panggilan kepadaku, saat aku menjadi santri beliau, agar terus tetap sekolah ataupun kuliah.

Aku hanya menjawab,
"Nggih bu."

Padahal saat itu, aku tidak ingin melanjutkan sekolah, hanya ingin mondok di pesantren salaf saja, dengan kurikulum pondok pesantren yang tidak ada sekolah umumnya.

Mungkin ibu tahu dan memiliki rencana yang baik untuk santri seperti aku ini.

Ibu Nyaiku, dalam pandangan penulis adalah sosok wanita yang menjadi guruku sejati, guru kehidupan, guru masa depan, dan guru ketauladanan

Beberapa pesan yang terus aku ingat dari Ibu Nyai dan beliaupun katakan pada semua santrinya yang mau pulang maupun pindah ke pesantren lainnya.

"Sira aja bae ninggal sholat." (Indonesia: Kamu jangan sampai meninggalkan sholat)

Pesan spiritual dari seseorang yang peduli kepada santrinya agar menjadi manusia yang tidak meninggalkan sholat.
 
Ucapan beliau, layaknya teguran keras bagi diriku, ketika terlena dengan urusan dunia dan pekerjaan rutinitas yang dijalani, ketika lupa akan waktu sholat.

Beliaupun mengingatkan sholat, setelah penulis pulang sekolah. Saat itu penulis sekolah di MTs NU Putra II Pondok Buntet Pesantren. Biasanya beliau mengatakan.

"Wis Sholat durung?" (Indonesia : Kamu sudah sholat belum?
Akupun hanya menjawab "Sampun bu,"  (Indonesia : Sudah bu)

Mengingatkan sholat yang dilakukan Ibu Nyaiku, tidak hanya setelah pulang sekolah saja. Saat mau makan pagi, sebelum berangkat sekolah. Beliaupun masih sempat mengingatkanku dan santri yang lain akan  sholat subuh.

Aktivitas silaturahmi yang penulis lakukan, tak bisa lepas dari pesan beliau, untuk tidak memutuskan tali silaturahmi. Penulis belajar  ketauladanan beliau, menjadi orang yang suka bersilaturahmi.

Pelajaran yang menarik ketika aku silaturami di rumah beliau, bersama istri dan anak-anak. Beliaupun memanggil semua anak-anaknya untuk bisa ketemu dengan aku.

Penulis bersama anak Ibu Nyai, Kang  Dadi sebelah kiri penulis, dan yang paling kanan adik sepupu yang juga menjadi santri ibu. Sumber: Dok. Pri.
Penulis bersama anak Ibu Nyai, Kang  Dadi sebelah kiri penulis, dan yang paling kanan adik sepupu yang juga menjadi santri ibu. Sumber: Dok. Pri.


Padahal anak beliau banyak dan sudah tidak bersamanya lagi. Karena sudah memiliki rumah masing-masing. Tetap saja beliau menyuruh semua anaknya agar bertemu dengan penulis. Hal ini beliau lakukan terus menerus  ketika penulis silaturahmi dengan beliau.

Rasa malu penulis ketika bertemu dengan anak-anak Ibu Nyai. Karena harus menyempatkan bertemu dengan penulis di rumah beliau. Padahal secara umur putra-putri beliau, lebih tua dari penulis dan dulu juga yang mengajari penulis mengaji.

Satu lagi, saat penulis bersilaturahmi dengan beliau, ketika aku mau pulang. Beliau belum membolehkan, sebelum makan dulu.  

Pendidikan menghormati tamu, walaupun pada santrinya sendiri, menjadi pelajaran bagi penulis yang kadangkala kurang ramah dalam penyambutan terhadap tamu.

Ketika penulis minta ijin pulang. Beliau tidak sungkan-sungkan memohon kepada penulis, yang notabenya sebagai tamu dan santri beliau. Meminta doa agar husnul khotimah, tetap iman dan islam.  

Permohoan tersebut yang membuat diri penulis terenyuh, bingung dan sedih. Sehingga  tanpa disuruh keluarlah air mata penulis.  

Mugi sehat selalu Bu Nyaiku. Nasehat Ibu selalu kurindukan.

Lukmanrandusanga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun