Mohon tunggu...
Lukman Sulistyo
Lukman Sulistyo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

.....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tarif Pulsa yang Wajar-wajarlah

8 Oktober 2011   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbongkarnya kedok maling pulsa sangat menggemparkan jagat negeri ini. Bahkan isunya tak kalah dengan aksi terorisme dan korupsi. Dan maling pulsa seharusnya dikenakan hukuman layaknya koruptor karena ia telah merugikan pengguna seluler.

Saya menggunakan akses seluler pertama kali pada tahun 1999. Pada saat itu saya menggunakan ponsel Ericsson GF-788. Kalau ukuran sekarang jadul banget. Tapi pada saat itu termasuk hape keren lho. Layana seluler kala itu masih tinggi harganya. Seingat saya harga kartu perdananya, Mentari 400ribu, Simpati, 250ribu, Pro-XL 150ribu. Kalau harga itu masih berlaku hingga kini pasti akses seluler masih langka.

Kini harga kartu perdana sangat diobral. Hal ini tentunya setiap operator melakukan pemubaziran nomor frekuensi seluler. Pemuda dan remaja saat ini sangat mudah berganti nomor. Karena saya pernah kerja di salah satu outsourching operator seluler, dalam satu hari bisa menghabiskan ratusan perdana untuk diaktifkan hanya sekedar meraih target penjualan. Padahal setelah itu masa bodo mau diisi ulang atau tidak. Kan ini mubazir. Itu baru di tempat saya kerja dulu. Sementara saya yakin agen-agen seluler lainnya pasti melakukan hal yang sama. Betapa mubazirnya frekuensi seluler kita ini.

Selain obral frekuensi nomor seluler, menurut saya para operator melakukan persaingan harga pulsa yang tidak sehat. Saling menjatuhkan harga paling murah bila perlu kita nggak usah bayar. Saya mikir, lantas bagaimana mereka membiayai segala beban operasional dan gaji pegawainya. Maka tak heran jika kemudian modus operandi layanan premium menjadi sumber penghasilan lain yang menggiurkan.

Dulu ketika saya pertama kali menggunakan layanan seluler tarif yang berlaku untuk SMS sama, yakni 350 rupiah per-SMS. Tapi lambat laun semakin murah dan cenderung tak ada harganya. Adu murah, tetapi ternyata ada "gajah dibalik batu" yang telah merugikan konsumen. Maka hemat saya, sebaiknya konten-konten nakal diberi hukuman pidana sebagai efek jera. Kemudian operator seluler membuat kesepakatan bersama tarif telpon dan SMS. Setidaknya kami sebagai konsumen diberi tarif yang wajar namun tidak ada modus tersembunyi lagi dibalik itu.

Wassalam

Lukman Sulistyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun