Mencermati deretan kalimat di atas, yang secara harfiah berarti tidak ada berita yang dapat membayar harga nyawa seorang jurnalis. (Apalagi) seorang jurnalis investigasi.Â
Adendum pertama memang benar adanya. Tidak ada produk jurnalistik yang bisa menggantikan nyawa seorang jurnalis. Manusia bukan seperti kucing, yang banyak disebut punya sembilan nyawa.
Kemudian pikiran ini dengan iseng menggelitik pertanyaan ke relung nebula pikiran manusia. Apakah ini rangkaian kalimat yang diartikan secara umum atau khusus?
Mengingat jika kalimat ini sampai ke seorang jurnalis bertype idealis, pasti akan ditolak mentah-mentah.
Idealis versus Oportunis
Bagi golongan berkarakter idealis, kalimat ini berarti sampah. Karena bukan seperti itu halnya jika seorang jurnalis idealis membuat sebuah maestro karya jurnalistik.
Taruhan terakhir bagi seorang idealis adalah nyawanya sendiri. Hal ini sudah Ia sampaikan sewaktu pertama kali menemukan bingkai berita yang menurutnya penting untuk disampaikan kepada publik. Dengan mengacu pada kaidah jurnalistik yang baik dan benar, segenggam nyali di dada, dia dengan bersemangat akan memulai permainan russian roulette  untuk nasib nyawanya sendiri.
Jika akhirnya dia menang, penghargaan pertama yang akan dia dapatkan adalah kepuasan jiwanya yang tidak bisa dinilai dengan harta dunia sebesar apapun. Itu seperti aliran adrenalin yang mengalir deras di setiap nadinya. Rasanya Ia berharga bagi kemanusiaan. Ilmunya bisa bermanfaat bagi banyak orang. Dia melambung ke level tertinggi di cakrawala menulis. Setelah itu dia akan sujud syukur pada Allah Azza Wa Jalla. Dia bermanfaat bagi orang lain.
Namun, hal sebaliknya terjadi pada kelompok oportunis. Tentu saja pernyataan di atas akan ditafsirkan sesuai dengan konsep diri wartawan oportunis berkarakter pengumpul duit.
Mengapa membuat berita jika tidak ada "nilai"? Karakter Idealis memang bodoh, mempertaruhkan nyawa hanya untuk mengejar kepuasan batin. Benarkah kepuasan batin bisa membuat perut keluarga terpenuhi? Sudahlah, pikiran kelompok idealis tidak masuk akal, orang bekerja mencari uang, bukan mencari kepuasan diri. Demikian akal perkeliruan bergumam di benak kepala penuh tagihan hutang dan angan-angan.Â
Apalagi jika dua kutub yang berlawanan ini kebetulan bertemu dalam satu bingkai liputan. Debat ilmiah pun menemukan takdirnya. Kaum idealis memiliki semangat untuk membuktikan bahwa kredo "Soal Rezeki Allah SWT yang atur" harus berlaku di dunia yang dia jalani.Â