Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jangan Marah, Jangan Marah, Jangan Marah

28 Juli 2023   21:44 Diperbarui: 28 Juli 2023   21:55 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi. (sumber gambar istockphoto.com)

Sampai tiga kali gue peringatkan diri ini, ketika ngeliat bagaimana kebingungan seorang pemimpin. Padahal, modal untuk jadi bagian dari tinta emas sejarah terbentang di depan mata. 

Alamnya subur serta kaya SDA, karakter masyarakatnya relijius, tidak banyak gesekan antar etnis walau diketahui terdiri dari multi etnis, potensi energi masa depan masih tertidur belum tersentuh tangan rakus kapitalisme. Jadi apa yang membuat pemimpin tadi tidak mampu membuat rakyatnya makmur? Mungkin cuma dua jawabnya : mental terjajah dan penyakit korupsi menggerogoti akidah pemimpin negeri. 

Kalau saja hitungan awam ini dipakai, niscaya kesejahteraan jadi jawabannya. Misal, sebuah rumah memiliki pendapatan dari berbagai hasil bumi berupa barang tambang (emas, nikel, timah, bauksit, biji besi dll), migas dan hasil hutan yang kalau dijumlah bernilai 23 juta rupiah perbulan. 

Dengan asumsi biaya operasional anggota keluarga yang menjalankan bisnis tadi adalah 5 juta rupiah, dan biaya distribusi serta logistik sebesar 4 juta rupiah, cicilan hutang selama lima tahun sebesar 4 juta rupiah. Maka rumah tadi mendapatkan profit sebesar 10 juta rupiah per bulannya. Jika kalkulasi dilanjutkan dengan asumsi pembayaran hutang selama 5 tahun, maka di tahun ke 6, rumah tersebut naik profitnya jadi 14 juta rupiah. 

Setelah 5 tahun tentu harga-harga barang tambang, migas dan hasil hutan akan refresh. Analaogikan naik sebesar 10%. Otomatis pendapatan rumah akan naik lagi jadi 16,5 juta rupiah. Tahun ke 7, 8 dan seterusnya tentu rumah tadi akan diperhitungkan oleh rumah lain dalam lingkungan komplek. Selain punya SDA berlimpah, SDM yang handal serta posisi hutang yang minus. 

Nah, dengan perumpamaan seperti itu, apakah yang membuat Indonesia terkesan tak mampu tinggal landas? Padahal di tahun 1998, Alm Presiden Soeharto pernah mencanangkan tahap tinggal landas. Artinya negara ini akan sejajar dengan Jepang, Korea dan China di kawasan Asia. Dengan Repelita, GBHN berlandaskan Pancasila. 

Sayangnya, para pengkhianat, kolaborator asing, antek negeri dajjal, kelompok pengusaha yang usahanya dijadikan kedok saja bertemu dalam simpul peristiwa tahun 1998. Dimana sejak saat itu, negeri ini perlahan jadi santapan para penjahat negara. Bukan saja UUD yang mampu dirubah, tapi kehidupan sosial, ekonomi serta masa depan anak cucu di negeri ini dirampas perompak berdasi. Memang sepak terjang Bandit Pengkhianat itu sempat terhenti di kurun waktu 2004-2014. Tapi, setelahnya dapat dikatakan secara faktual makin parah. 

Dengan memakai logika sebuah rumah tadi, maka yang saat ini terjadi adalah sebagai berikut : Misal pendapatan tetap 23 juta rupiah. Akan tetapi, biaya operasional anggota keluarga NAIK menjadi 10 juta (korupsi 5 juta), distribusi logistik NAIK jadi 12 juta rupiah (korupsi 8 juta rupiah), hutang yang sudah lunas malah membengkak hingga beban cicilan hutang jadi 9 juta rupiah (pemborosan anggaran via pembangunan infrastruktur tak tepat guna). Dengan angka-angka seperti ini, sudah barang tentu kalkulasi berbuah minus, sebesar 23 juta dikurang 31 juta rupiah sama dengan minus 8 juta rupiah per bulan. 

Jika diteruskan cara seperti ini, maka di tahun ke 10, dengan pendapatan taruhlah naik jadi 30 juta rupiah, dan maka dengan beban hutang sebesar 135 juta rupiah negeri ini sudah 100% dijajah secara ekonomi dan politik. Pendapatan hanya 30 juta, korupsi sebesar 13 juta, diperparah karena inefisiensi ekonomi akhirnya jadi negara yang tergantung pada loan. Dengan kondisi sudah bergantung secara ekonomi pada pnjaman atau hutang. Bahasa portugis-nya "Gali Lobang Nutup Empang". 

Negeri perlahan tergadai, anak bangsa terancam jadi budak di negerinya sendiri. Satu persatu asset negara akan diambil alih oleh negara pendonor atas nama pelunasan hutang. Lihatlah Bangladesh, Angola, menyusul Pakistan. Apakah ini yang selama ini diperjuangkan oleh para pejuang yang sudah berkorban harta benda bahkan nyawa. Pastinya bukan seperti ini cita-cita para pendiri negeri. Siapakah yang sudah berkhianat pada rakyatnya sendiri? Apa yang salah dengan sistem bernegara kita saat ini? Benarkah Pancasila sudah takluk oleh kapitalisme, komunisme atau isme lainnya? Bagaimana pertanggungjawaban mereka yang selama ini berada di tampuk kekuasaan? Terakhir, apa yang akan dicatat oleh tinta sejarah soal perilaku mereka saat ini? 

Hanya waktu yang akan membuktikan, apakah celoteh P.W Singer dan August Cole di tahun 2015 yang lalu terbukti, bahwa -semoga Allah Ta'ala tetap menjaga bangsa ini- Indonesia hanya tinggal nama. Diprediksi bubar, karena kemudi diarahkan ke failed state atau balkanisasi. Sekian. 

LH -28072023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun