Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Rekening Makin Seksi, Tak Sadar Dirinya Serupa dengan "Setan Bisu"

26 Mei 2023   21:00 Diperbarui: 26 Mei 2023   21:02 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Earth -- Dua tahun lalu, gue udah mengendus dugaan aroma persekongkolan jahat, antara penguasa dan oknum kuli android. 

Ada peristiwa level nasional, diliput oleh multi channel media baik televisi, radio, online dan beberapa yang tersisa jenis cetak. Pendek kata gegap gempita dan jadi sorotan publik di tanah air. 

Penyebabnya adalah bertemunya penghasilan resmi pejabat publik dengan sifat hedonisme. Yang kalau saja terjadi di daerah dengan tingkat kemakmuran seperti di Brunei, maka informasi soal mahalnya tas, pakaian serta tetek bengek dalam koridor glamourisme tidak akan jadi soal serius. 

Tapi yang akhirnya jadi atensi level nasional adalah soal paradoksal antara duit masuk dengan life style beberapa oknum pejabat tertentu. Dibuka oleh insiden perkelahian antara anak golongan 'the have' yang berujung pada hukum. Dramaturgi soal (maaf) bejat dan korupnya oknum-oknum yang menjabat sebagai pelayan publik terkuak lebar. Bagaikan membuka hordeng jendela kamar gelap yang langsung ditembus sinar matahari pagi. 

Kaget, kesal sekaligus girang, lantas jengkel berlipat-lipat bergantian mengisi relung hati rakyat yang disodorkan frame berita seksi. Sebuah peristiwa yang bagi dapur redaksi seoerti berkah jatuh dari langit. Sebab setelahnya mereka sudah pasti akan kebanjiran klik di web, rating yang melonjak pada televisi, pendengar yang bertambah serta finalnya berduyun-duyun pengiklan berebut masuk. Cuan dong namanya, iya gak tuh? Hehehe. 

Meski begitu menyedot atensi publik, tidak demikian halnya dengan teman media di kota X. Adem, tenteram, tak beriak, tenang menghanyutkan dan senyap. Persis seperti api bekas bakar sampah yang disiram oleh air. Nyess, tak ada lagi setitik nyala api idealisme. Yang barusan saja padam disiram iklan bulanan, eh disiram air maksudnya. Sebuah ironi dan gejala matinya pasal 6 UU Pers 40/1999. 

Fungsi kontrol dalam pers yang mewakili rasa ingin tahu masyarakat atau right to know milik publik seolah di-rudapaksa, oleh kertas merah yang rutin masuk ke rekening. Mau bersuara takut ditegur, setelah ditegur pasti ditinjau ulang kontraknya di tahun depan, jika apes bin sial akan menerima pemberitahuan bukan lagi sebagai media partner. Kalau media sudah hilang "darahnya" maka yang ada akan "kembali" gencar mengkritik yang sedang berkuasa. Tapi kritik yang dikakukan lebih kepada taking back position ketimbang sikap idealisme. Yang jika sudah almarhum dalam benak tiap wartawan, maka artikel yang dipublish sangat dekat sekali dengan bidang kehumasan suatu organisasi perangkat daerah. 

Bersifat puja-puji, glorifikasi pada indeks, statistik atau sodoran narasi dalam grup-grup wa saja. Hakikatnya, ada anomali dalam tiap kerjasama dengan sumber bujet anggaran pemerintahan daerah. Bukan apbd nya yang salah, tapi bukan mustahil secara perlahan akan menggerus sifat kritis, menguji informasi, koreksi kekeliruan pejabat publik yang digaji dari dana pajak. 

Apalagi sampai hati akhirnya mereka memusuhi teman lain yang masih setia dengan pilihan idealisme. Ketika bertemu memang biasa saja, tapi tanpa sadar ada pagar tak terlihat yang memisahkan kedekatan mereka seperti awal-awal dulu. Bro ngapain sih angkat berita soal itu? Kan masih banyak frame lain? "Ah udah deh jangan sok gak butuh duit, kalo gak ada masukan bulanan anak istri lo makan apa? Tuh masih ada dua slot media lagi yang kosong tuh dan langsung temuin Mr . Cairr sana kan dia orang dekatnya Babe penguasa," begitu kira-kira isi percakapan antara diri penulis dengan teman-teman yang sudah ikut menari dalam gendang yang ditabuh oleh the power tendens to corrupt. 

Mengapa dibilang bertendensi korup? Dalam bukunya "Relasi Antara Korupsi dan Kekuasaan, Sanusi HM Arsyad bilang, Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan "pintu masuk" bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke 19. Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). 

Pemahaman yang lebih mudah begini mas, kalau penguasa itu beritikad baik sesuai janji kampanye-nya dia tidak akan "menjinakkan" fungsi kontrol publik yang diwakili oleh media. Pasal 6 UU Pers 40/1999 akan dihadapi dengan gentlemen olehnya. Sebagai mata dan telinga publik, media akan disambut layaknya institusi yang justru diperlukan dirinya sebagai penguasa. Bukan malah mendata portal berita yang mana saja nih yang sudah berani memuat berita soal peristiwa kemarin? Untuk kemudian malah dilaporkan ke aparat hukum dengan menggunakan UU ITE dan KUHP. 

Kedunguan unfaedah yang dilakukan berulang-ulang. Begini ndro, setahu saya (koreksi saya jika salah) UU Pers itu ketika masuk ranah kaidah atau asas hukum, ada adagium "lex specialis derogat legi generali", yakni aturan atau hukum bersifat khusus mengesampingkan aturan atau hukum yang bersifat umum.

Dalam pemahaman awam, jika dia berprofesi sebagai wartawan -setara dengan dokter, pengacara, aparat hukum- maka aturan yang dikenakan pada pribadi dengan profesi tadi haruslah bersifat khusus. Beda halnya jika ujug-ujug masyarakat umum mosting di sosmed lantas menimbulkan prahara debat di tiap pelosok rumah warga. Maka hal demikian bisa dikenakan UU ITE dan KUHP. 

Jadi singkatnya, dunia pers di kota X tadi sesungguhnya sedang "sakaratul maut" bertemu dengan ajalnya. Tugas malaikat pencabut nyawa diwakilkan oleh bendahara Dinas. Yang sewaktu jarinya memencet enter pada keypad laptopnya dan sejumlah dana masuk ke rekening media. Maka disaat itulah media sudah mengalami mati suri. Hasil dari bersikap diam saat ketidakadilan sedang merajalela. Malah masuk kategori setan, jenis setan bisu. 

Ini yang bicara adalah seorang ulama salaf, Abu Ali ad-Daqqaq : "Orang yang diam dari kebenaran itu adalah SETAN BISU, namun orang orang bicara dg kebatilan itu adalah SETAN YANG BERBICARA".

Lebih jelasnya soal kewajiban menyampaikan yang Haq pada penguasa zalim adalah Hadis Rasulullah Saw :
"Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman". [HR Muslim]. (LH) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun