Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Book

1984 George Orwell: Paradoks Si Bung Besar Kendalikan Rezim yang Takut dengan Oposisi

21 April 2023   20:53 Diperbarui: 21 April 2023   21:06 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Pangkalpinang --- Dalam novel termasyhur bertitel 1984 karya George Orwell, pertama kali membacanya seperti memasuki mesin waktu ke masa yang (pengalaman batin penulis) ada di depan. Bukan sebaliknya seperti yang tertera di judul novel yang pertama kali terbit pada 8 Juni 1949. Ada suasana dingin mencekam disertai lalu lalang sosok-sosok asing yang sejatinya seperti mengawasi tiap penduduk Oceania. 

Menurut hemat penulis, ada tiga hal pokok yang diketengahkan oleh Orwell. Pertama soal sistem bernegara yang bercorak totalitarianisme, soal mass surveillance atau penguntitan kehidupan warga oleh negara, dan terakhir adalah soal indoktrinasi pikiran penduduk Oceania. 

Dari ketiga pokok bahasan di novel setebal 598 halaman bentuk pdf ini, Orwell mampu menerjemahkan bagaimana suasana batin seorang Winston Smith ketika menghadapi state pressure melalui perangkat organik miliknya : pantauan kamera cctv di tiap sudut di manapun belahan kota, anggota teliksandi yang seliweran hilir mudik ala film-film spionase era James Bond -diperankan Sean Connery- tahun 1960-an. Memakai topi semi koboy yang bagian depannya menutupi wajah mereka, serta sebuah sistem bernegara yang menihilkan tiap bentuk oposan. Alias segala sesuatunya diseragamkan.    

Jika kita sama-sama sepakat, ada bentuk yang sangat mirip apa yang digambarkan oleh Orwell pada tahun 1949 dengan beberapa pemerintahan di era milenial sekarang ini. Justru disitulah paradoks- nya. 1984 akhirnya berubah seperti acuan tak resmi para penganut mazhab Machiavellisme. Bukankah ada nada yang seirama ketika sama-sama bertemu pada kalimat 'menghalalkan segala cara'. Gampangnya nih pembaca, lihatlah bagaimana rezim komunis China merontokkan identitas orang-orang Uighur di Turkistan. 

Sejatinya, tidak boleh lagi terjadi perkosaan hak asasi manusia atas nama apapun. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah super sensitif, masalah keyakinan atau agama. Apa yang sebenarnya hendak dicapai oleh Xi Jinping dan komplotannya di Uighur sana? Sumber daya alam pas-pasan, posisi wilayah juga tidak amat sangat strategis, jumlah penduduknya dibandingkan dengan China tentu sangat jomplang. Jadi atas dasar apa mereka merangsek masuk menjajah kaum muslimin di Uighur sana? 

Sebagai rasa curiga, sah-sah saja dikemukakan disini. Toh namanya False Flag Operation ala PKC bersifat dangkal, murahan dan kejam. Sepertinya, rezim bengis Jinping ini hendak memiliki laboratorium hidup tempat percobaan mereka dengan teori-teori Bio-weapon, mass surveillance control, social credit, brainwash dan terakhir genocide. Ketika hampir semua perempuan Uighur (kebetulan memang diciptakan cantik rupawan) jadi ajang para pria suku Han melampiaskan syahwat binatangnya. Setelahnya baru mereka nikahi dengan merenggut akidah, kehormatan, serta memori mereka sebagai ras yang merdeka. 

Sesuai dengan tiga hal pokok dalam novel 1984 tadi. Ada enam sub bagian artikel yang akan menggambarkan bahwa benarlah  sinyalemen beberapa peneliti politik yang mengatakan bahwa secara tak langsung novel 1984 dijadikan kitab suci bagi para penganut otoritarianisme atau totalitarianisme berbasis teknologi. Dengan cctv di tiap sudut kota, kecerdasan buatan yang mendekati kemampuan storage seribu terabyte, teknologi face recognition sebagai ID pengganti sidik jari dan penyeragaman pikiran melalui frekuensi gelombang tertentu.  

1.CCTV 

Banyak dari kita belum menyadari sepenuhnya bahwa di sekeliling kita secara perlahan sudah mulai transparan. Segala sesuatunya dapat serta merta disaksikan dalam tayangan di berbagai layar digital. Baik gadget, tablet, laptop, televisi hingga giant screen. Pengirimnya adalah jutaan kamera cctv real time yang saat ini jumlahnya meningkat pesat. Walaupun hal ini masih bisa diperdebatkan, namun segi mudharatnya pun tak kecil jumlahnya. 

Persis seperti di Oceania tempat Winston tokoh protagonis novel menjalani kehidupannya. Si Bung Besar karakter antagonis pun seolah bisa berada dimanapun pelosok kota. Gambar dan suaranya ketika sedang pidato seakan terus menyusup di tiap urat nadi manusia penduduk di Oceania. Apalagi tiap pukul lima sore si Bung Besar rutin tampil di Telescreen bicara soal kesuksesan dirinya yang tentu saja itu semua adalah kebohongan. Iya seperti kata Joseph Goebbels, 1000 kebohongan yang terus menerus disiarkan lambat laun akan menjadi satu kebenaran. Jahat gak bro? 

Big Brother digambarkan melalui sebagai pria berumur sekitar 45 tahun, tampan, dan berkumis lebat. Ia tidak pernah secara langsung menampakkan diri, sebagaimana "musuh besarnya," Emmanuel Goldstein. Namun, di setiap poster yang menampilkan wajahnya selalu tertulis, "BIG BROTHER IS WATCHING YOU."

2.Kemunafikan Atau Doublethink

Di tempat Winston hidup, kamu harus punya kemampuan hipokrit tingkat dewa. Pasalnya, jika kebenaran yang ada di pikiranmu berlawanan dengan pikiran si Bung Besar, maka organ negara akan segera menyergap untuk kemudian dibawa ke dalam lorong gelap kemudian diakhiri dengan eksekusi mati. Tanpa diketahui oleh siapapun. Kalaupun misalnya suatu saat sedang berada di ruang publik dan ketemu dengan pertanyaan mudah berapa jumlah dari 2+2= ? Maka sebaiknya jawaban disesuaikan dulu dengan pemegang klaim otoritas kebenaran -yakni negara- apakah hasilnya sama atau berlawanan? Jika negara punya keinginan jawabannya adalah 5, maka segeralah kubur jawaban sebenernya angka 4 tadi. 

3.Pemegang Tunggal Definisi Kata atau Newspeak

Negara Oceania begitu dominan dalam novel 1984 Orwell. Dalam novel -yang masuk kategori 100 novel terbaik Modern Library- ini bukan saja mampu mencuci otak penduduknya dengan tayangan yang jamnya disesuaikan oleh titik terlemah otak manusia menerima persepsi. Jam lima sore tiap warga wajib berdiri di depan Telescreen untuk menerima instruksi serta puja-puji pada kehebatan palsu Big Brothers. 

Selain doktrinasi massal yang tiap saat dirasakan makin ketat saja, pribadi Winston perlahan juga mulai limbung dengan pemahaman atas kosa kata yang artinya sengaja dimanipulasi sesuai keinginan rezim. Tiada lagi kata Freedom, yang ada cuma Free. Dan bisa digunakan hanya untuk padanan binatang, bukan manusia. 

"Kata itu tidak dapat digunakan dalam arti lamanya 'bebas secara politik' atau 'bebas secara intelektual', karena kebebasan politik dan intelektual tidak lagi ada--bahkan sebagai konsep, oleh karena itu, tidak perlu disebutkan," tulis Orwell.

4.Mesin Doktrinasi Negara atau Kementerian Kebenaran 

Winston diceritakan bekerja sebagai ASN di "Kementerian Kebenaran." Pekerjaannya adalah melakukan "koreksi" pada pemberitaan media yang telah lalu, yang kemudian menjadi pengubahan sejarah. Ia memusnahkan informasi-informasi yang berlawanan dengan narasi pemerintah.

Dalam pemahaman penulis, Winston ini bekerja untuk memframing, bertugas sebagai Spin Doctor, Buzzerp yang pro rezim. Tentu saja diri Winston hanyalah sebuah sekrup kecil dari mesin propaganda si Bung Besar. Tiap ada narasi kontra pemerintah maka seperti ribuan tawon yang dilepaskan dari sarangnya, langsung memberangus akun pengkritik pemerintah tadi. Mirip di Konoha gak? Hehehe. 

5.Seks Berubah Jadi Ajang Pelampiasan Naluri Purba Politik

Ketika seseorang tinggal dan hidup dalam suasana penuh pengawasan, serba seragam juga dipaksa menelan hymne sorak-sorai kepalsuan. Akibatnya manusia tadi akan berubah secara kimiawi. Artinya begini, sejak zaman purba hasrat biologis manusia diawali dengan adanya ketertarikan satu sama lain. Pria naksir wanita. Mereka memadu kasih, saling mengikat janji sehidup semati diakhiri dengan hubungan biologis pria wanita dewasa yang dinaungi oleh perkawinan. 

Tidak demikian halnya dengan seks bagi manusia yang tinggal di Oceania. Mereka kerap dijejalkan slogan bombastis soal heroiknya Bung Besar. Keberhasilan semu hasil olah kerja Kementerian Kebenaran. Menyantap informasi racun berupa propaganda, framing, false flag dan fabrikasi dusta. Dan pada akhirnya, ketika memang tubuh manusia haus akan hubungan biologis, itu semata dilakukan dengan berkobarnya amarah, katarsis dari uap panas berbentuk emosi yang tertahan. 

Winston ketika berhubungan dengan istri selalu mengatakan "kewajiban partai". Sebaliknya jika dilakukan bersama kekasihnya, Julia. Mereka berdua bagaikan kuda liar yang lepas dari kandangnya. Orwell menggambarkan dengan sempurna, "...Pelukan mereka adalah pertarungan. Klimaksnya adalah kemenangan. Persenggamaan itu adalah sebuah pukulan telak kepada Partai. Persenggamaan itu adalah sebuah aksi politis."

6.Cyber Patrol Cikal Bakal "Polisi Pikiran?"

Beberapa waktu yang lalu, negeri ini mengadopsi skema Orwellian secara kasat mata. Sebabnya adalah, dibentuknya polisi siber yang bukan hanya mampu menegur kita lewat pesan pribadi namun juga mampu tetiba mengetuk pintu rumah warganet. Tentu saja hal seperti ini adalah hal yang menyeramkan. Betapa ikut campurnya "negara" dalam ruang diskusi publik dirasa sudah tidak sehat lagi. 

Sebagai misal, adanya rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar. Tentu hal seperti ini akan mendapat respon bermacam-macam dari publik. Yang tidak paham akan berkomentar seadanya saja. Yang doyan menghujat karena hidupnya murung menemukan oase-nya. Nah bagi yang paham dan mengerti pasti akan menjawab rencana kenaikan tadi dengan data dan fakta yang validitasnya dapat teruji. 

Di titik inilah "polisi siber" alias polisi pikiran akan bekerja secara maksimal. Pertama tentu akan mapping personal akun tadi. Setelahnya, dicoba untuk berinteraksi seraya coba "meluruskan" pikiran beda tersebut. Sewaktu dirasa gak mempan juga. Maka mulailah dipakai cara-cara purba atau main kayu. Banyak kok contohnya. Kan aneh, dari 7,5 miliar manusia di dunia ini, sidik jarinya saja tidak ada yang sama. Apalagi pikiran? 

Sebagai penutup, novel ini berulang kali dibaca justru semakin seru. Dan menemukan kebetulan-kebetulan yang sesuai dengan keadaan sekarang. Dimana, penguasa bukan lagi berkhidmat pada rakyatnya. Mereka kini bersimpuh takzim pada tauke yang meminjamkan modal saat mulai ikut kontestasi dulu. 

Franklin D Roosevelt pernah berkata, dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, anda dapat bertaruh hal itu pasti direncanakan. Sekian. (***)

Oleh : Lukman Hakim | wartawan 

Tinggal di Bumi Allah SWT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun