Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... Jurnalis - wartawan

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - P.A.Toer

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Begini Cara Mafia Tanah Mengakali Aturan

28 Januari 2023   13:42 Diperbarui: 3 Februari 2023   21:13 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pangkalpinang --- Praktek perusakan hutan, terutama pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan -terutama sawit- tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, selain tentunya merampas warisan negara bagi generasi anak bangsa. Meskipun, fakta yang terpampang di depan mata adalah makin masifnya para spekulan tanah memporak-porandakan kawasan yang sebenarnya terlarang, Kamis 25 Januari 2023. 

Seperti yang terjadi di desa Kotawaringin kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung, yang secara kasat mata telah memperlihatkan bagaimana skema ala "tiki-taka" mampu menyulap sebuah kawasan Hutan Lindung, jadi perkebunan sawit. 

Artikel ini sedikit banyaknya, coba menguak tabir gelap mengapa para Kepala Desa di berbagai pelosok negeri ini kerap jadi pesakitan dalam sidang tuntutan di sebuah pengadilan. Baik itu kasus dana desa, dana bansos, ataupun jual beli lahan yang terhampar luas di wilayahnya. 

Peran sentral Kepala Desa adalah Pintu Masuk bagi Pemodal

Tidak dapat dipungkiri, peristiwa jual beli lahan, alih fungsi lahan, penerbitan sertifikat ganda,  tentu terjadi setelah tengkulak lahan memastikan, bahwa lahan desa yang akan dijarahnya tadi "bisa" berubah. Baik status maupun kepemilikan. Awalnya mungkin sederhana, seorang tokoh masyarakat sebuah desa yang mendapat kepercayaan dari warganya, kemudian maju dalam sebuah kontestasi bernama Pilkades. 

Pada fase inilah pihak pemodal mendapatkan pintu masuk yang empuk. Mengapa begitu? Sebab, seperti sama-sama diketahui, untuk dapat ikut dalam sebuah ajang pertarungan politik -walau kelas desa- tentu butuh biaya logistik yang tidak kecil. Bahkan infonya bisa mencapai belasan miliar rupiah, untuk seorang kandidat kuat yang sudah menguasai lebih dari 50% suara masyarakat setempat. 

Angka belasan miliar rupiah ini akan segera menipis ketika masuk masa pencoblosan. Ditambah logistik untuk para "wasit" yang dipastikan sudah mencium aroma money politics tadi, namun ajaibnya bukan disergap dengan aturan malah ikut cawe-cawe menikmatinya. 

Dengan begitu, jika seorang calon Kades diyakini oleh pemodal tadi memang adalah sosok kuat yang akan mampu menuruti kehendak korporasi. Biasanya pemodal tersebut serta merta akan mendekati dengan berbagai cara. Dan tujuan akhirnya adalah "menawarkan" pinjaman lunak berupa dana logistik untuk bertarung dalam kontestasi Pilkades tadi.  

Setelah keduanya kemudian sepakat dengan term of agreement yang dikukuhkan di atas kertas bermaterai sebagai jaminan.  Maka perusakan ekosistem lingkungan hidup pun masuk episode selanjutnya. 

Kotawaringin Adalah Sebuah Contoh, Betapa Oligarki Sawit Kuat Mencengkeram Negeri

Satu atau dua tahun pertama Kades menjabat mungkin si pemodal belum muncul batang hidungnya di Kantor Desa yang kini telah secara sah ditempati oleh jagoan pemodal tersebut. Sambil terus menikmati manisnya berkuasa, Kades tadi terus dikontak untuk melakukan tugasnya seperti biasa. Menginjak tahun kelima atau di ujung kekuasaannya, barulah pemodal tadi muncul di Kantor Kades. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun