Mohon tunggu...
Lukman Febrian
Lukman Febrian Mohon Tunggu... Petani - Bangun terus

Berusahalah jadi diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Undang-Undang No 16 tahun 2019 Jo Undang-Undang No 1 Tahun 1974

17 Desember 2021   11:15 Diperbarui: 17 Desember 2021   11:24 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Manusia merupakan mahluk hidup sosial, dapat di artikan manusia hidup dengan berkelompok  karena manusia tidak bisa hidup dengan tanpa adanya orang lain. Setiap mahluk hidup memiliki hak untuk melakukan perkawinan. Perkawinan merupakan  suatu lembaga yang dihalalkan hubungan seksual secara sah, ikatan batin antara wanita dan pria dengan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan tentram. Dalam penulisan dibawah ini saya akan menjelaskan secara singkat tentang perubahan UU No 1 tahun 1974 ke UU No 16 tahun 2019 tentang perkawinan.


Perkawinan menciptakan suatu rukun dan syarat yang sah, maka dari itu istilah perkawinan muncul pada Undang-undang No 1 tahun 1974 yang mengatur batasan usia. Terdapat dalam pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan hanya boleh diizinkan pada seorang pria yang berumur 19 tahun dan pihak wanita berumur 16 tahun. Pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 1 tahun 1974  mereka meminta agar pernikahan dibawah umur maksimal disamakan dengan laki-laki yakni 19 tahun. Pada pasal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang berbunyi "seorang anak yang belum mencapai 18 tahun, termasuk anak masih dalam kandungan".

Dalam Undang-undang No 16 tahun 2019 memiliki kemajuan dan nilai yang menonjol pentingnya dinaikkan batas usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan begini jika perkawinan dilaksankan menurut Undang-undang yang berlaku dan direvisi, maka terbentuklah keluarga yang bahagia dan kekal, dengan adanya UU ini dapat mengurangi dampak kehamilan yang terjadi diusia remaja. 

Undang-undang No 1 tahun 1974 dan peraturan pernikahan No 9 tahun 1975 tidak mengatur secara rinci apa saja yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan dispensasi kawin. Maka dari itu, dalam permohonan perkara dispensasi kawin majelis hakim akan mempertimbangkan perkaranya, dan apabila majelis hakim menolak permohonan secara langsung maka dispensasi kawin akan tidak diberikan. 

Menurut pendapat saya sebagai masyarakat, hakim harus mempertimbangkan menjadi dua, yakni pertimbangan hukum dan perimbangan keadilan masyarakat. Dikarenakan pertimbangan menurut hukum hakim harus menetapkan penetapannya sesuai dengan dalil-dalil dan bukti hukum yang diajukan, sementara pertimbangan keadilan masyarakat perkawinan tersebut sering kali dinilai sebagai alternatif untuk menyelesaikan  masalah yang terjadi. Salah satu contoh didesan Tulungrejo Kec Glenmore Kab Banyuwangi terjadinya dispensasi kawin yang masih berusia belum tamat SMP, dikarenakan anak tersebut hamil diluar nikah, akan tetapi dalam Undang-undang No 16 tahun 2019 memiliki dampak baik kepada pasangan yang mau menikah, dikarenakan melalukan pernikahan yang masih berusia anak tidak terburu-buru sebab akan menimbulkan dampak buruk bagi pasangan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun