"Sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan konstitusi, maka sikap saya terhadap konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden paling lama dua periode, tidak berubah. Saya sama sekali tidak ada niat, juga tidak berminat, menjadi presiden tiga periode".
Tulisan di atas merupakan postingan presiden Joko Widodo di akun twitter resminya pada Senin (15/3). Seperti yang kita ketahui, Joko Widodo dalam kiprahnya di dunia politik terbilang sukses. Mulai dari jabatan sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga saat ini menduduki kursi nomor 1 RI yaitu sebagai presiden terpilih. Saat ini merupakan periode kedua kepemimpinannya menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan di republik ini. Lantas, apakah mungkin menjadi presiden tiga periode?
Peraturan Tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Dalam pasal 7 UUD 1945 dikatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Itu artinya Joko Widodo tidak bisa mencalonkan lagi sebagai presiden. Apakah urgensinya menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode?
Wacana terkait penambahan masa jabatan presiden belakangan memang ramai dibicarakan. Terlebih oleh politisi partai koalisi dan masyarakat pendukung Joko Widodo. Berbagai macam argumentasi yang menguatkan usulan tersebut, tidak lebih dari upaya melanggengkan kekuasaan. Hal semacam ini tidak etis. Seyogyanya kita patuh terhadap konstitusi yang berlaku.
Pragmatisme Politik dan Masa Depan Demokrasi
Diskursus tentang politik tidak pernah berhenti. Berbagai dinamika politik mewarnai jagad raya. Di Indonesia, mulai dari kontestasi pemilu hingga kebijakan politik sampai dengan saat ini menyisakan banyak fenomena. Konflik fisik yang mewarnai kontestasi hingga pada level kebijakan pun ada konflik yang dinamakan konflik interest. Setidaknya ada dua pokok faktornya yaitu politik identitas yang turut andil dalam kontestasi politik dan orientasi politik untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang.
Politik identitas bukanlah hal baru. Pada dasarnya praktek politik identitas rawan terjadi pada masyarakat yang heterogen atau majemuk termasuk Indonesia. Kemajemukan tersebut ditandai oleh banyaknya agama, suku, ras dan budaya. Secara sosiologis, individu satu dengan lainnya yang latar belakang sama maka di dalamnya tercipta primordialisme.Â
Dalam konteks politik, rupanya kondisi tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan politik oleh orang-orang berkepentingan. Sehingga yang ditonjolkan adalah identitas kelompok, baik itu agama, suku, ras dan sebagainya. Identitas dibajak dan digerakkan untuk mendapatkan kekuasaan. Akhirnya yang terjadi adalah masyarakat terpolarisasi atau terkotak-kotak. Situasi seperti ini sangat berpotensi menimbulkan konflik.
Politisasi identitas atau politik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) tidak dibenarkan oleh UU. Hal ini jelas menunjukkan etika dan substansi dari suatu perhelatan demokrasi. Absennya politik identitas akan melahirkan suasana pesta demokrasi yang aman dan damai. Selain itu pesta demokrasi akan menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas tinggi, dan lainnya sebab masyarakat mengedepankan rasionalitas.
Kemudian masalah berikutnya adalah orientasi politik. Beberapa tahun terakhir muncul wacana penambahan masa jabatan presiden. Tujuannya apa jika bukan ingin melanggengkan kekuasaan. Maka akan berbahaya kedepannya kalau hal ini terjadi. Cita-cita yang didasarkan pada syahwat politik tentu saja akan melahirkan iklim sosial politik yang buruk. Sekelompok orang yang menginisiasi hal ini membajak kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya. Sehingga bukan lagi berorientasi pada kesejahteraan sosial masyarakat tapi bergeser untuk kesejahteraan kelompok tertentu.
Politik Humanis dan Politik Substantif
Perilaku politik mesti jadi perhatian khusus kita bersama. Selama ini kita menyaksikan bahwa stigma politik cenderung buruk. Indikatornya diantaranya ialah pragmatisme politik, orang-orang cenderung menggunakan cara instan dan praktis dalam mencapai tujuan politik.Â
Politik uang, politik identitas hingga orientasi politik yang salah tujuan. Realitas semacam ini menunjukkan sisi gelap dunia politik kita, politik tidak lagi menjadi media aspirasi kalangan masyarakat banyak tapi diproyeksikan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Nalar politik semacam ini harus dihilangkan.
Saat ini kita harus mengupayakan agar yang ditampilkan adalah politik humanis-nirkekerasan. Dalam mencapai tujuan politik dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi. Dengan cara-cara kemanusiaan, maka perpecahan baik itu sifatnya horizontal maupun vertikal maka akan terhindarkan. Juga hal lainnya yang bisa menjawab tantangan dunia politik kita saat ini adalah mengatur perilaku politik sehingga mengarah pada substansi politik.Â
Politik bukanlah jalan untuk memperkaya diri atau kelompok akan tetapi sebagai medium pengabdian untuk bangsa dan negara. Pikiran dan tindakan dikerahkan semaksimal mungkin untuk menjawab aspirasi masyarakat banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H