Pidato Presiden Joko Widodo di depan menteri-menterinya beberapa waktu lalu terlihat marah dan kecewa. Keadaan tersebut dilatarbelakangi oleh penilaian buruk kinerja menterinya dalam konteks menyikapi pandemi Covid-19 di tanah air. Ia menekankan bahwa pentingnya rasa kebatinan yang sama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi saat ini.
"Perasaan ini tolong harus sama..."
Presiden marah terhadap menteri-menterinya. Ada yang merespons beragam, seperti politisi partai Gerindra Fadli Zon menyatakan bahwa kinerja menteri tidak terlepas dari pengaruh kepemimpinan seorang Presiden. Jadi, dalam melihat kualitas kinerja menteri yang dinilai buruk maka pemimpin juga dinilai buruk. Begitulah kira-kira jika menilai suatu sistem, pemimpinnya disoroti. Logis? Iya.
Memilih menteri adalah prerogatif Presiden. Untuk itu rakyat hanya berpesan untuk memilih menteri yang dinilai kompeten dan profesional sehingga bisa memecahkan persoalan-persoalan bangsa dengan baik.Â
Bukan dipilih berdasarkan kesukaan atau balas budi sehingga mengabaikan sisi kualitas menteri. Hal ini sangat penting. Supaya di kemudian hari tidak ada persoalan serius seperti ketidakmampuan menteri dalam mengurusi bidangnya.Â
Dalam rekrutmen Menteri, seorang presiden harus memerhatikan kriteria dan persyaratan berikut.
Kompetensi
Mengukur kompetensi seseorang bisa ditelusuri dengan melihat gelar dan atau pencapaian yang memiliki korelasi dengan bidang suatu menteri. Atau dengan kata lain, analoginya ialah untuk mengurusi pasien sakit harusnya ditangani oleh orang yang mengerti tentang kesehatan, dan seterusnya.Â
Profesional
Seorang menteri harus memiliki syarat profesional. Menekuni peran dan tanggungjawab sebagai menteri dengan sebaik-baiknya. Harus terlepas dari intervensi eksternal. Sehingga membuat kebijakan yang berdasarkan kepentingan masyarakat umum bukan kepentingan golongan dan atau kelompok tertentu.
Loyalitas
Menteri adalah pembantu Presiden. Maka sepatutnya harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap atasan. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa tidak ada visi dan misi menteri, yang ada hanyalah visi dan misi Presiden.Â
Namun yang harus digarisbawahi, tidak berarti menteri seperti robot. Harus punya daya pikir kritis. Pemimpin kadangkala punya sisi kelemahan, maka bawahan harus koreksi untuk kembali ke jalan yang benar.Â
Tiga hal di atas menjadi bahan pertimbangan Presiden dalam memilih menteri. Ancaman reshuffle menteri, silahkan dilakukan manakala diperlukan. Ada kurang lebih 260 juta jiwa rakyat Indonesia, nasibnya sangat bergantung pada kebijakan-kebijakan pemerintah.Â
Sebagai seorang pemimpin, Presiden Joko Widodo harus senantiasa menyoroti kinerja bawahannya. Mengukur kemampuan menteri berdasarkan ketercapaiannya dalam mengelola bidang masing-masing. Sehingga evaluasi tidak menunggu kualitas menterinya buruk, setiap saat pemimpin memastikan menteri-menterinya berada dalam koridor yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H