Ibu yang kusayangi. Jangan kau berkecil hati, walau ku mempunyai kekurangan. Tapi ku tetap bersemangat dan berjuang, demi cita-citaku dan masa depanku. Oh ibuku, semoga engkau tabah dan bisa terima semua ini. Doakan saja agar aku bisa jadi anak yang berguna.
Emma (14), anak berkebutuhan khusus tunanetra, menyanyikan lirik lagu karyanya sendiri itu di hadapan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, seusai acara puncak Peringatan Hari Anak Nasional 2012 yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (29/8/2012) kemarin, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Suara siswa kelas empat di Pendidikan Luar Biasa Yayasan Keluarga Kependidikan, Pacitan, Jawa Timur, itu terdengar lirih namun merdu, saat melantunkan lagu berjudul Jangan Berkecil Hati yang baru ia ciptakan saat bulan puasa lalu.
Seusai bernyanyi, Emma bercerita ia ingin menghibur ibunya, Sukiyem, melalui lagunya ini.
Kala ia masih kecil, tutur Emma, ibunya sempat syok dan tidak bisa menerima kenyataan akan kondisi anaknya yang tidak bisa melihat. Emma didiagnosis tidak akan bisa melihat lagi, meski menjalani operasi atau mendapat donor mata. Penyebabnya, ada kerusakan pada saraf kedua bola matanya.
"Saya coba buat lagu ini untuk menghibur dan menabahkan hati ibu saya. Saya ingin ibu saya bisa tabah menghadapi segala cobaan ini. Dari empat saudara, hanya saya yang tidak normal. Ibu mikirnya saya yang paling menderita," kata Emma, yang sudah menciptakan enam lagu itu.
Meski bersuara merdu dan kerap menulis lagu, Emma tidak lantas ingin serius menekuni profesi sebagai penyanyi atau pencipta lagu. Menyanyi dan mencipta lagu, hanya mau dijadikannya sebagai hobi atau kegiatan sampingan. Sejak kecil cita-citanya tidak berubah, ingin menjadi guru. Alasannya, agar ia bisa mengajar anak-anak tunanetra.
"Guru itu kan tulus untuk membimbing dan tidak pernah mengharapkan apa-apa," kata anak bungsu dari pasangan Poniran dan Sukiyem itu.
Menurut guru wali kelasnya, Totok, seharusnya Emma sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun sampai saat ini ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, karena Emma terlambat dimasukkan ke sekolah.
"Mungkin karena rumahnya jauh sekali dari sekolah. Selama ini tidak ada masalah di pelajaran, karena Emma cepat menangkap pelajaran. Kami berusaha membantunya belajar di kelas. Harus didampingi khusus," ujarnya.
Ceramah dan doa
Jika Emma pandai mengolah suara dan mencipta lagu, Hakim (10) pandai berceramah dan berdakwah. Panggilan atau permintaan untuk berceramah, berdatangan dari berbagai instansi Pacitan.
Anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang kini kelas tiga di sekolah yang sama dengan Emma itu, telah diajari berdakwah oleh neneknya, Ismi, sejak usia tujuh tahun.
Ismi yang pensiunan guru, selalu membantu mencarikan materi-materi isi ceramahnya dari berbagai sumber. Karena kerap tampil di muka publik, Hakim duduk di atas kursi rodanya dengan percaya diri saat membacakan doa di hadapan para menteri dan Presiden.
"Simbah yang ajari doa. Mau jadi ustadz. Mau tentara tapi tidak punya kaki sama tangan," jawab Hakim pendek-pendek, saat menjawab pertanyaan dari Menteri Linda Amalia Sari.
Anak pertama dari tiga bersaudara itu tinggal di Pacitan, Jawa Timur, hanya dengan neneknya. Agar Hakim tidak minder karena kondisi tubuhnya yang tidak sempurna, Ismi selalu menggendong anak itu ke mana-mana.
Namun belakangan, kata Ismi, ia sudah tidak kuat lagi menggendong Hakim. Akibatnya, kini Hakim lebih sering berada di rumah. Guru pun kini didatangkan ke rumah. Padahal sebenarnya Hakim tidak mau.
"Sebenarnya dia tidak mau. Komentar Hakim, sekolah kok sendiri. Ia maunya belajar bersama anak-anak lain," kata Ismi.
Hal yang kerap membuat Ismi sedih adalah ketika Hakim meminta bertemu dengan kedua orangtuanya, yang selama ini tinggal di Bekasi. Hakim sengaja dititipkan oleh kedua orangtuanya, karena kata Ismi, mereka minder dengan kondisi fisik Hakim.
Baik ayah mauupun ibu Hakim tidak pernah menengok anaknya di Pacitan. Ismi-lah yang harus membawa Hakim ke Bekasi saat liburan sekolah.
"Dulu pernah Hakim tinggal dengan orangtuanya tapi tidak pernah keluar rumah. Kasihan. Akhirnya sama saya di kampung," cerita Ismi.
Ketika acara usai pun, Hakim dengan suara keras dan menangis, tidak mau diajak pulang neneknya ke Pacitan. Ia ingin pulang ke rumah orangtuanya dan tinggal bersama ibunya.
"Gak mau pulang. Mau ke ibu. Mau sama ibu," kata Hakim, kepada neneknya dan semua tamu undangan, termasuk Linda sambil menangis sesenggukan.
Pendampingan
Agar potensi anak berkebutuhan khusus bisa berkembang maksimal, ungkap Linda, perlu pendampingan khusus yang tepat dari berbagai pihak. Bukan hanya perhatian dan kepedulian, tetapi juga bantuan pendampingan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Proses pendampingan itu harus dimulai dari keluarga inti yakni ayah, ibu, dan saudara kandung.
Masyarakat di lingkungan sekitar si anak hanya bisa memberi pendampingan tambahan, agar dapat hidup berdampingan dan berperan aktif di masyarakat.
Untuk itu, kata Linda, sekolah-sekolah inklusi perlu diperbanyak baik di sekolah negeri maupun swasta. "Memang perlu banyak biaya dari pemerintah tetapi ini harus dilakukan karena anak-anak berkebutuhan khusus juga bagian dari penentu masa depan kita," ujarnya. (LUKI AULIA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H