Jika Emma pandai mengolah suara dan mencipta lagu, Hakim (10) pandai berceramah dan berdakwah. Panggilan atau permintaan untuk berceramah, berdatangan dari berbagai instansi Pacitan.
Anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang kini kelas tiga di sekolah yang sama dengan Emma itu, telah diajari berdakwah oleh neneknya, Ismi, sejak usia tujuh tahun.
Ismi yang pensiunan guru, selalu membantu mencarikan materi-materi isi ceramahnya dari berbagai sumber. Karena kerap tampil di muka publik, Hakim duduk di atas kursi rodanya dengan percaya diri saat membacakan doa di hadapan para menteri dan Presiden.
"Simbah yang ajari doa. Mau jadi ustadz. Mau tentara tapi tidak punya kaki sama tangan," jawab Hakim pendek-pendek, saat menjawab pertanyaan dari Menteri Linda Amalia Sari.
Anak pertama dari tiga bersaudara itu tinggal di Pacitan, Jawa Timur, hanya dengan neneknya. Agar Hakim tidak minder karena kondisi tubuhnya yang tidak sempurna, Ismi selalu menggendong anak itu ke mana-mana.
Namun belakangan, kata Ismi, ia sudah tidak kuat lagi menggendong Hakim. Akibatnya, kini Hakim lebih sering berada di rumah. Guru pun kini didatangkan ke rumah. Padahal sebenarnya Hakim tidak mau.
"Sebenarnya dia tidak mau. Komentar Hakim, sekolah kok sendiri. Ia maunya belajar bersama anak-anak lain," kata Ismi.
Hal yang kerap membuat Ismi sedih adalah ketika Hakim meminta bertemu dengan kedua orangtuanya, yang selama ini tinggal di Bekasi. Hakim sengaja dititipkan oleh kedua orangtuanya, karena kata Ismi, mereka minder dengan kondisi fisik Hakim.
Baik ayah mauupun ibu Hakim tidak pernah menengok anaknya di Pacitan. Ismi-lah yang harus membawa Hakim ke Bekasi saat liburan sekolah.
"Dulu pernah Hakim tinggal dengan orangtuanya tapi tidak pernah keluar rumah. Kasihan. Akhirnya sama saya di kampung," cerita Ismi.
Ketika acara usai pun, Hakim dengan suara keras dan menangis, tidak mau diajak pulang neneknya ke Pacitan. Ia ingin pulang ke rumah orangtuanya dan tinggal bersama ibunya.