Mohon tunggu...
Luki Aulia
Luki Aulia Mohon Tunggu... -

Ditempatkan di desk luar negeri membuat gregetnya sebagai wartawan makin tampak. Tidak pernah menemui kesulitan saat harus bertugas ke luar negeri karena penguasaan bahasa Inggrisnya baik. Maklum, pada masa kecil ia pernah tinggal di Amerika Serikat bersama orangtuanya yang sedang menuntut ilmu. Sebagai jurnalis, ia pernah ditugaskan di Bali dan Makassar. Kembali dari daerah, di Jakarta ia ditugaskan di desk yang ada sangkut pautnya dengan seni, budaya, dan pertunjukkan. Ia semakin produktif menulis setelah ditempatkan di desk luar negeri. Dari pengalamannya itulah ia ingin berbagi pengalaman dan pandangan di Kompasiana ini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Ambil Tanah Kami....

15 September 2008   06:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:26 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"SELAMAT datang di Australia. Siapa saja boleh masuk, tetapi tolong jangan ambil tanah kami," demikian pidato sambutan tokoh masyarakat Aborigin Western Australia, Richard Willkes, dalam acara Regional Youth Interfaith Forum di Perth, 4-7 Desember 2007, bertema "Embracing Diversity: Delivering Message of Understanding".

Raut wajah Willkes ketika berbicara di depan puluhan peserta dari Asia Tenggara dan Eropa itu serius. Datar. Tanpa senyum. Dalam pidatonya, Willkes menekankan, pemilik tanah Australia yang sebenarnya adalah komunitas etnis pribumi Aborigin. Dengan kata lain, warga nonpribumi bukan pemilik asli. Jadi, menurut Willkes, Pemerintah Australia harus mengembalikan hak milik tanah Australia kepada Aborigin. Suka atau tidak suka, Aborigin adalah masyarakat pertama yang hidup dan tinggal di Australia. Begitu inti pesan Willkes.

Jika tidak memahami sejarah Australia dan persoalan Aborigin, sulit untuk mengerti makna dari pidato Willkes. Saat ditemui seusai berpidato, Willkes mengaku makna pidatonya itu sebenarnya ungkapan protes atas perlakuan pemerintah "kulit putih" Australia terhadap Aborigin yang tidak manusiawi. Bayangkan saja, Aborigin dulu pernah dianggap sebagai salah satu kekayaan flora fauna di Australia.

Derita Aborigin berawal ketika orang-orang dari Inggris-mayoritas narapidana-menjejakkan kaki pertama kali di Sidney Cove, 26 Januari 1788. Bagi Aborigin, itulah awal penjajahan. Inggris menguasai Australia tanpa mendapat persetujuan masyarakat pribumi. Padahal, Aborigin yang bergaya hidup "berburu dan meramu" itu sudah hidup di Australia sejak 70.000 tahun sebelum pendatang Inggris itu masuk.

Akibatnya, masyarakat Aborigin-sekitar 460.000 dari 21 juta penduduk Australia-makin terdesak ke pinggiran kota dan terjerat berbagai persoalan ekonomi dan sosial. Meski telah diakui dan "dianggap manusia" sekitar tahun 1960, Aborigin masih terjerat masalah ekonomi dan sosial. Selain termasuk kelompok etnis paling miskin, banyak Aborigin yang dipenjara, menganggur, dan buta huruf. "Kami tidak boleh tinggal di kota. Pemerintah khawatir kami akan membentuk permukiman kumuh," tutur Willkes.

Bukan hanya itu. Tingkat kematian bayi Aborigin juga paling tinggi. Tingkat harapan hidupnya tidak lebih baik karena sebagian besar meninggal di usia 17 tahun lebih muda dari usia nonpribumi. Minuman beralkohol dan penyalahgunaan narkoba juga mendera Aborigin. Banyak laki-laki Aborigin meninggal di usia muda karena alkohol dan narkoba.

Dalam laporan Pusat Australasian untuk Penelitian Kebijakan, Februari 2007, disebutkan, 62 persen Aborigin mengonsumsi alkohol. Tingkat kematian Aborigin 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan non-Aborigin. BBC News (31 Mei 2007) juga menyebutkan satu dari delapan warga Australia minum hingga tingkat membahayakan. Akibatnya, paling tidak ada 10 orang yang meninggal setiap hari akibat minum minuman beralkohol.

Gara-gara alkohol itu juga setiap 38 jam ada satu warga Aborigin yang meninggal. Kebiasaan mengonsumsi alkohol dan narkoba ini karena Aborigin merasa tersingkir dari masyarakat. "Untuk memahami masalah ini kita harus melihat perlakuan yang diterima Aborigin dari pendatang selama 200 tahun. Masyarakat Aborigin kehilangan jiwanya," kata Pastor Ray Minniecon.

Willkes juga berpikiran sama. Aborigin terjerat alkohol dan narkoba karena merasa tidak mempunyai harapan. Perasaan ini diperparah dengan minimnya atau bahkan tidak adanya kemampuan untuk keluar dari lubang kemiskinan dan menghadapi tantangan dari dunia luar. Jika saja kualitas pendidikan Aborigin lebih baik, kata Willkes, mungkin kehidupan Aborigin akan lebih baik. "Tetapi pemerintah tidak memfokuskan perhatian di masalah pendidikan kami. Padahal, pendidikan kunci solusi semua masalah," ujarnya.

Lingkaran setan

Karena tidak berpendidikan, banyak warga Aborigin yang menganggur. Karena itu, tidak mungkin bagi Aborigin untuk bisa bergaya hidup seperti layaknya "kulit putih". Tanpa pendidikan yang memadai, banyak warga Aborigin yang tidak tahu cara membesarkan dan memperlakukan anak. "Seperti lingkaran setan. Ini seperti cerita yang tiada berakhir. Ini kenapa kami minta pemerintah minta maaf atas segala kekacauan ini," ujarnya.

Penderitaan Aborigin tidak juga terselesaikan karena tidak ada perwakilan mereka di tingkat pemerintahan. Jumlah Aborigin juga terlalu sedikit untuk memiliki wakil di parlemen. Tidak ada pemimpin yang dapat menyuarakan kepentingan Aborigin. Apalagi jika mengingat Aborigin terdiri dari beragam komunitas yang mempunyai bahasa dan adat tradisi berbeda sehingga sulit bersatu.

Menurut Wikipedia, Aborigin terdiri dari suku Koori (mayoritas tinggal di New South Wales dan Victoria), Murri (Queensland), Noongar, Yamatji, Wangkai (Australia Barat), Nunga (Australia Selatan), Anangu (Australia Selatan, Australia Barat, dan Northern Territory), Yapa (Northern Territory), Yolngu (Eastern Arnhem Land), dan Palawah (Tasmania). Asal kata Aborigin yang memiliki arti "pribumi atau yang pertama dikenal" (bahasa Latin Aborigines dari ab berarti "dari" dan origo atau origin berarti "awal") telah digunakan sejak tahun 1789.

Akhirnya hari yang sudah dinantikan tiba juga. Perdana Menteri Kevin Rudd secara resmi, mewakili Pemerintah Australia, meminta maaf atas segala perlakuan tidak adil terhadap Aborigin. Keinginan Willkes agarpemerintah minta maaf terkabul sudah. Bagi sebagian warga Aborigin, ini amat melegakan. Kata "maaf" dianggap bagian terpenting dari proses penyembuhan luka. Namun, ada pula yang menilai "maaf" tidak cukup. Harus ada kompensasi.

Bagi Aborigin, kompensasi di sini berarti pemberian ganti rugi berupa uang. Namun, Rudd menolak memenuhi hal itu. Sebagai gantinya, ia berjanji meningkatkan kehidupan Aborigin dengan pendidikan dan pelayanan kesehatan lebih baik. Setelah mendapat kata "maaf", kini masyarakat Aborigin harus lebih giat menagih janji Rudd. Setidaknya, Rudd lebih baik dari John Howard. Rudd bersedia dengan legowo minta maaf. Howard tidak mau minta maaf. Alasannya, generasinya tidak bertanggung jawab atas akibat atau hasil dari kebijakan pada masa lalu. Lagi pula, paling tidak Australia juga lebih baik daripada Amerika Serikat yang sampai sekarang belum juga minta maaf secara formal kepada masyarakat pribumi Indian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun