Mohon tunggu...
Lukianto Suel
Lukianto Suel Mohon Tunggu... Freelancer - Biasa, tak ada yang istimewa

Menulis itu seperti berbicara tanpa lawan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Kegembiraan dan Kesedihan

28 Februari 2024   12:27 Diperbarui: 2 Maret 2024   23:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru saja mengulang kebiasaan lama memasuki sebuah hutan kecil dilereng gunung Merapi, di punggung utara, karena hanya tinggal punggungan inilah yang saat ini aman untuk didaki setelah lava menggumpal diatas puncak, serta sebagian telah tumpah ruah kearah selatan, Kaliadem. Sebuah kebiasaan yang sering saya lakukan dimasa muda, waktu usia baru saja menginjakkan angka duapuluhan, masih segar, masih kuat dan masih memiliki rona romantisme  yang teramat menggebu.

Bayangan -- bayangan masa muda kembali terulang seperti sebuah gambaran dalam layar teater yang bergerak dengan segala dinamikanya. Masa muda memang masa yang teramat indah, walaupun terkadang tanpa disadari masa-masa itu bakal berlalu, bakal dilewati dengan cepat dan ketika kita terbangun pada saat usia menjadi semakin tinggi, ditandai dengan tanggung jawab yang semakin membebani pundaknya.

Saat inipun  bayangan romantisme masa lalu terasa masih teramat lekat, disamping rasa heroisme pada saat menaiki lereng-lereng bukit dalam perjalanan menuju puncak gunung Merapi. Dimasa muda rasa heroisme tersebut mampu menggiring saya dalam menumbuhkan kekuatan hati dalam menempuh perjalanan yang sulit, pada saat bersama-sama dengan teman-teman maupun sendirian saja. Saat ini, saya punya pemikiran yang mungkin terlalu beresiko dengan mengatakan : Usia boleh tua, pikiran harus tetap muda. Dalam bahasa ibu saya boleh saya sitir kata-kata mbah Hargo , Juru kunci gunung Merapi sebelum pak Marijan, atau ayahanda pak Marijan sendiri : " Nuwani oleh, rumangsa tua ora oleh...... " ( Bersikap sebaga orang tua boleh, merasa tua tidak boleh ).... Itulah yang terjadi ketika saya mencoba kembali memasuki kerindangan pohon dalam kesenyapan suara tehnologi mutakhir dan hanya dipenuhi dengan nyanyian serangga dan angin. Burung-burung berkicau dengan penuh keriangan seolah tak menyadari bahwa dunia sudah berubah, habitat mereka semakin punah, koloni tertentu dari jenisnya mulai berkurang.

Rasa dinginnya udara serta kesunyian demi kesunyian mulai merayap dalam batin saya. Tak ada yang saya sedihkan atau saya resahkan namun juga tak ada yang membuat saya menjadi tertawa terbahak-bahak saking gembiranya. Yang ada adalah ketentraman dalam hati.  Saya berada diantara batas kegembiraan dan kesedihan, ada dalam dalam tangis kebahagiaan. Sehingga lama kelamaan seolah saya telah tenggelam keberadaan alam. Menelusuri kodrat manusia yang sebenarnya tercipta menjadi sebagian dari alam itu sendiri.

Kesunyian dan dinginnya udara membuat saya menjadi jelas dalam membaca diri sendiri. Saya jadi lebih mudah menyaksikan kedalaman jiwa dan hati. Saya lebih mudah terasa terharu dalam memikirkan perjalanan hidup selama ini. Ternyata masih banyak yang belum dapat saya gapai dalam mengerjakan obsesi masa muda. Ternya saya banyak mengalami deviasi dalam menempuh perjalanan kehidupan saya tahun beberapa tahun terakhir, semenjak waktu saya mulai berpikir harus memiliki cita-cita dan kemauan untuk menggapai sesuatu baik secara moril maupun materiel.

Alam memang tak pernah berbicara apa-apa, bahkan tak pernah meminta apapun dari kita. Kitalah yang teramat membutuhkan dia, teramat menuntut keberadaannya yang lebih memberikan kesejahteraan lahir dan batin. Kitalah yang mengeksploitir segala sumber daya alam yang terkandung didalamnya, dengan terkadang tanpa memberikan kesempatan padanya untuk kembali tumbuh dan berkembang sesuai dengan kofratnya.Alam hanya membutuhkan sedikit keperdulian manusia, sehingga ia mampu memberikan apa saja yang dimiliki bagi kesejahteraan mahluk Tuhan. Jika tidak ada rasa kepedulian tersebut, sebaliknya kita juga tak akan mendapatkan apa-apa dari alam, juga kedamaian.

Alam menumbuhkan pepohonan dan air yang berlimpah. Dengan segala yang tumbuh diatas bumi telah terproses segala sesuatu yang dibutuhkan oleh mahluk hidup lainnya, terutama mereka yang memiliki ruh, tumbuh dan bergerak. Alam tidak menumbuhkan gedung bertingkat, tidak menumbuhkan rumah-rumah real estate, tidak juga menumbuhkan jalan-jalan beraspal tebal bahkan dengan semen-semen yang menutupi kulitnya.

Alam hanya membuat bahan-bahan untuk menghasilkan segala yang diolah oleh manusia. Manusia tidak menciptakan apa-apa, justru mengambil apa yang telah ditumbuhkan alam atas kehendakNya, manusia hanya mengolah segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam. Terkadang saya merasa malu. Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang memiliki derajat paling tinggi diantara semua mahlukNya, bahkan dengan malaikat sekalipun yang terkenal tidak memiliki kehendak lain selain mematuhi kehendakNya, namun manusia lebih banyak memiliki ketidak jujuran. Binatang yang hina sekalipun itu seekor kecoa ataupun tikus, bahkan seekor anjing kudisan pun, tidak akan mengkonsumsi segala sesuatu lebih dari yang dia butuhkan. Dia tak akan menyimpan kelebihan makanannya didalam lemari untuk persediaan esok. Itulah naluri sederhana yang dimiliki oleh seekor binatang yang jarang dimiliki manusia. Binatang membunuh karena hak telah dilanggar, atau ada sesuatu yang bakal mengancamnya nyawanya. Namun manusia terkadang membunuh justru karena ia telah terhalang dalam memenuhi keinginan melanggar hak orang lain. Saya sendiri sering merasa, yang saya tiru dari binatang bukan naluri sederhana sebagai yang mereka miliki namun kebuasannya dalam mempertahankan sesuatu yang terkadang malah tidak jelas bentuknya.

Pada perjalanan saya kemarin jika dilihat dengan sepintas saja secara fisik saya nyaris tak mendapat apa-apa kecuali kelelahan, kedinginan. Saya hanya menemukan sesuatu yang tidak mampu saya perlihatkan kepada siapapun, kepada kawan, lawan, sahabat bahkan ibu saya sendiri. Yang saya masukkan kedalam kantong hati saya adalah sesuatu yang sangat tersembunyi didalam itu sendiri , berujud sebuah kedamaian. Sebagaimana tadi saya katakan, saya berdiri diantara kegembiraan dan kesedihan.

Alam memang tak memusuhi siapapun. Jika masnusia mengatakan: Mencoba melawan kebuasan alam,  kalimat sederhana yang terkadang justru menjadi ungkapan yang berlebihan. Bukankah justru karena kebuasan dalam pikiran manusia yang menghendaki segala sesuatu menjadi lebih baik, lebih enak dan lebih menyenangkan, menumbuhkan tindakan mengekploitasi alam dengan segala keserakahan, ketamakan, rasa tidak merasa puas? Sekali lagi seharusnyalah rasa malu dan dengan segera terus menerus mengontrol diri kita dalam segala tindakan. Karena malu dapat menjadi sebuah aturan hukum tak tertulis yang akan  mengarahkan kita pada jalan hidup tanpa cela.

Perjalanan menelusuri hutan kali ini seolah menjadi sebuah perjalanan menelusuri diri, menelusuri sebagian dari kehidupan itu sendiri. Banyak yang terlewatkan setiap kali kesempatan datang. Karena jika jujur terhadap diri sendiri, pernah , walau hanya sekali, bahkan juga sepintas, kita mengalami ketidak jelasan  dalam tujuan hidup. Untuk apa kita berbuat sesuatu yang baik jika kita hanya sendirian apa yang kita perbuat dengan segala kebaikan dan kesadaran akan arti kebutuhan bersama mahluk hidup, tidak dimbangi oleh perbuatan orang lain.  Kita jadi seperti sendirian didunia yang teramat fana ini. Misalnya pada suatu saat kita coba menyingkirkan kerikil dipinggir jalan dengan kesadaran bahwa jika kerikil tersebut tersandung kaki seseorang pasti akan terjadi musibah. Namun keesokan harinya beberapa orang, kendati tanpa sengaja, telah menyebarkan kembali kerikil itu ketengah jalan, entah terlempar oleh ban mobil yang ditumpangi atau dengan cara lain. Jika kesadaran seseorang dalam memelihara kepentingan bersama terbangun, niscaya tak ada hal-hal yang memberatkan dalam menempuh segala permasalahan hidup.

Saya terus berjalan, meraba sisi-sisi lereng gunung dengan segala pemandangannya. Semakin keatas hutan semakin tipis. Pepohonan semakin jarang. Barangkali karena Merapi masih merupakan gunung yang aktif bahkan termasuk gunung paling aktif didunia., maka semakin keatas semakin jarang terdapat tumbuhan. Bahkan pada area tertentu sudah tidak ada lagi tumbuhan disitu. Saya akhiri pejalanan disitu. Melihat kebawah dan melihat  dan melihat begitu banyak hal dibawah sana, semakin tahu masih banyak tempat yang belum saya datangi. Ada rasa arogan dalam memandang sekeliling, bahwa saya lebih tinggi dari orang lain, namun juga ada rasa khawatir, akan melengkapi tanggung jawab saya dalam menempuh perjalanan pulang.

Di situlah kedalaman dalam memandang hidup. Semakin tinggi taraf kehidupan seseorang, seharusnya merasa semakin banyak yang belum diketahuinya, masih begitu jauh perjalanan menuju kesempurnaan., masih terlalu panjang berdiri diantara kegembiraan dan kesedihan, begitu sulitnya mencapaui ketentraman dan kebehagiaan. Terlalu lama berdiri diatas, akan membuat seseorang tak lagi ingat dimana ia berdiri, membutuhkan kekuatan hati dan keseimbangan juga kesadaran yang tinggi, mungkin bakal tergugah jika telah terjatuh kendatipun mungkin sudah agak terlambat menyadarinya  terlempar dari tempat yang begitu tinggi akibatnya adalah kesakitan yang teramat sangat. Bukan kebahagiaan yang kita dapat, akhirnya pada posisi itu semakin jauh kebahagiaan, semakin jauh ketentraman, bahkan untuk menempuh perjalanan sampai ketengah-tengah antara kegembiraan dan kesedihan membutuhkan kekuatan ekstra. Kesedihan yang didapat sudah terlalu dalam, sehingga perlu diciptakan rangking baru sejauh mana yang dinamai kegembiraan, untuk ditempuh dari jarak kesedihan yang dialaminya.

Sengaja saya hentikan perjalanan ditiga perempat ketinggian gunung, agar saya masih punya pikiran bahwa dalam mencapai puncak kebehagiaan manusia harus mempunyai kemampuan berjuang yang tak ringan. Kendati kebahagiaan dan ketentraman tidak harus dipenuhi dengan harta yang berlimpah, Namun sarana yang dibutuhkan juga tidak sedikit , musti harus dilalui  dengan perjuangan yang kuat.  Sampai disini lalu terasa kita tak mempunyai kekuasaan apa-apa, baik didunia maupun diakherat nanti. Bahwa manusia lahir dengan fitrahnya sebagai seorang pemimpin, pemimpin dunia, bangsa, kelompok, keluarga bahkan pemimpin bagi dirinya sendiri dan lahir bukan sebagai penguasa, jelas telah dimaklumi! Penguasa tunggal di Dunia ini hanyalah Allah.

Itulah! Perjalanan itu ringan, jika kita menganggapnya demikian, namun juga sebaliknya perjalanan akan menjadi demikian berat jika kita tahu apa yang kita hadapi, tak tahu cara menghadapi. Tak tahu maksud dari perjalanan bahkan tak tahu hasil  dari sebuah perjalanan, tak mengerti sampai dimana kesalahan yang telah kita perbuat.

Yogyakarta, 20 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun