Seorang pemimpin harus memiliki misi yang luas yang didasari oleh kepentingan ummat, memiliki visi pertumbuhan yang berkelanjutan dan pemikiran yang strategis. Selain itu pertimbangan seorang pemimpin tidak hanya terkait dengan profit perusahaan akan tetapi juga mempertimbangan kesejahteraan keluarga pegawai, kelestarian lingkungan, pembangunan daerah tertinggal dan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu seorang pemimpin juga harus memiliki kreatifitas yang tinggi dalam mengembangkan konsep dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki produktifitas dengan efisiensi yang optimal.
Perspektif Islam terkait kepemimpinan adalah seorang pemimpin harus amanah (trust), lebih lanjut makna amanah dapat diartikan sebuah ikatan atau kontrak seorang pemimpin dengan bawahan yang dipimpinnya, bahwa seorang pemimpin tersebut akan membimbing, melindungi, dan akan memperlakukan mereka dengan adil. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus mampu memberikan maslahat bukan hanya bagi organisasinya (mewakili shareholders) namun juga bagi seluruh karyawan yang dipimpinnya. Karenanya kepemimpinan bukanlah hak milik yang boleh dinikmati dengan cara sesuka hati orang yang memegangnya.
Oleh karena itu, Islam memandang tugas kepemimpinan dalam dua tugas utama, yaitu menegakkan agama (akhirat) dan mengelola urusan dunia. Sehingga Allah sangat membenci orang yang mejadi pemimpin dikarenakan mengejar jabatan semata. Hal ini diriwayatkan dalam hadist Buchari Muslim: “Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: Rasulullah saw telah bersabda kepada saya : “ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu.” (bukhari, muslim).
Selain itu juga terdapat hadist yang berhubungan dengan hal tersebut, yaitu “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Jika amanah telah hilang (sudah tidak dipegang lagi dengan teguh), maka tunggulah saat kehancurannya. Ia bertanya: Ya Rasul, bagaimana orang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: (Yaitu) apabila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari).” Kepemimpinan dalam perspektif Islam yaitu amanah yang diemban oleh seorang pemimpin harus disertai dengan profesionalisme yang memiliki visi mensejahterakan ummat, memiliki perencanaan jangka panjang, mampu mengimplemantasikan, memiliku pengalaman dan kemahiran serta diakui kepakarannya dalam menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya.
Hubungan rasa memiliki dalam kepemimpinan
Mengapa rasa memiliki dalam kepemimpinan menjadi suatu yang penting? Rasa memiliki membentuk mental seorang pemimpin dalam membuat kebijakan dan keputusan, karena makna mental berhubungan dengan karakter, watak dan kejiwaan dari seseorang. Lebih lanjut rasa memiliki akan mempengaruhi seorang pemimpin dalam bertindak. Hal tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan mengetahui tujuan yang akan dicapai;
2. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan mengerti dan paham bagaimana harus berperan dan berkontribusi yang positif terhadap organisasinya;
3. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan memiliki rasa tanggung jawab akan keberhasilan organisasi;
4. Dengan adanya rasa memiliki, maka seorang pemimpin akan memahami tugas dan tanggung jawabnya.
Oleh karenanya alangkah eloknya apabila saat ini pemerintah memiliki bank syariah negara sehingga pemerintah dapat berperan langsung terhadap perbaikan dan kemajuan perbankan syariah di Indonesia. Peran pemerintah sangat penting terhadap kemajuan bank syariah yng nota bene bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan maslahat ummat. Hal ini diungkapkan oleh teori Ibnu Khaldun yang terkenal, menurut Ibnu Khaldun terdapat variabel-variabel yang saling berkaitan yang tidak dapt dipisahkan satu sama lainnya, yaitu Syariah (S), Masyarakat (N), pemerintah (G), kesejahteraan (W), pembangunan (g) dan keadilan (j) sehingga fungsi menajadi sebagai berikut: G=f(S,N,W,g dan j). Berdasarkan persamaan dan gambar Ibnu Khaldun maka (G) adalah sebagai variabel terikat karena pemerintah/penguasa/pemimpin wajib menjamin kesejahteraan (W) bagi masyarakat atau negara (N) dengan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan (g) dan menciptakan keadilan (j) melalui implementasi nilai-nilai syariah (S) sehingga tercipta maqhasid syariah atau maslahat. Selanjutnya, untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan yang berkelanjutan dari perbankan syariah di Indonesia, maka diperlukan dukungan pemerintah (government driven) selain keinginan masyarakat (society driven/market driven) yang saat telah ada saat ini.