Mohon tunggu...
Lukas Indra
Lukas Indra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kontroversi SPAMA, Bentuk Apresiasi atau Bentuk Pembatas Diri

23 Oktober 2018   23:25 Diperbarui: 23 Oktober 2018   23:27 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keaktifan mahasiswa sering menjadi bahan pembicaraan. Bahkan, pihak Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) juga merasa prihatin akan hal itu. Oleh karena itu, salah satu solusi yang ditawarkan oleh kampus ialah "menghadirkan" Sistem Partisipasi Aktivitas Mahasiswa Atma Jaya, biasa disebut SPAMA, sebagai syarat kelulusan.

Aturan ini menuntut mahasiswa untuk mengumpulkan sebanyak 65 poin untuk bisa lulus. Poin-poin tersebut bisa dicapai melalui keaktifan seperti mengikuti seminar, aktif dalam berorganisasi, dan mengikuti inisiasi. Meski hal disebut terakhir sering kali tidak jelas tujuannya.

Terlepas dari niat baik pihak kampus, aturan itu justru berdampak buruk pada moralitas mahasiswa. Mahasiswa UAJY, khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), hanya sebatas ingin mendapatkan poin SPAMA, ketika mengikuti suatu kegiatan. Salah satu contohnya ialah Fisip Friday Night (FFN) yang ramai diikuti ketika diming-imingi sertifikat.

Pada  masa kepemimpinan BEM tahun 2016-2017, FFN yang digelar hanya dihadiri oleh segelintir orang. Hal itu kontras dengan FFN yang diadakan pada masa kepengurusan BEM tahun 2017-2018. FFN yang diadakan oleh kepengurusah BEM 2017-2018 dihadiri oleh lebih banyak orang dibandingkan tahun sebelumnya.

"Kami menggunakan iming-iming sertifikat, supaya orang yang datang ke FFN lebih banyak," jelas Giovan eks pengurus BEM divisi Penelitian dan Pengembangan (LitBang).

Giovan menuturkan metode tersebut digunakan agar aspirasi-aspirasi mahasiswa dapat didengar oleh lebih banyak pihak. Di samping itu, hal tersebut juga mencegah mahasiswa yang merasa aspirasinya tak didengarkan atau tak disediakan wadah bersuara.

"Ada beberapa mahasiswa yang merasa bahwa suara mereka tidak terwakili. Padahal, kami sudah menyediakan wadah untuk bersuara, hanya saja mereka tidak datang, ketika acara itu," lanjut Giovan.

Menurut Rasta, mahasiswa FISIP 2016, SPAMA masih efektif. SPAMA membantu mahasiswa untuk aktif di bidang lain, selain bidang akademis.

"Menurut saya masih efektif. Hanya saja, moralitas mahasiswa saja, yang memandang bahwa mengikuti kegiatan itu hanya memenuhi SPAMA, yang buruk," jelas Rasta.

Sedikit berbeda dengan Rasta, menurut Giovan hal yang tidak efektif dari SPAMA adalah sistem SPAMA. Menurut dia, SPAMA seharusnya tidak mengkotak-kotakkan dari segi pengumpulan. Seharusnya, SPAMA diterapkan lebih bebas bergantung pada minat dari mahasiswa itu.

"Harusnya, SPAMA tidak mengkotak-kotakkan minat mahasiswa. Hal itu akan berdampak pada kompetensi mahasiswa itu sendiri," tegas Giovan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun